Alang-Alang

AI dan Pikiran untuk Mati

Apakah AI pernah menyeberangi jembatan dengan pikiran untuk mati?

Barusan saya menguji puisi saya pada sebuah mesin pendeteksi AI. Hasilnya 95% buatan AI. Bagaimana bisa? Puisi itu lahir dari tubuh saya sendiri, dari masa-masa kelaparan, dari malam-malam tanpa listrik, dari kepala yang retak menahan rasa ingin mati, dari doa yang tak pernah terkabul tapi terus saya kirimkan ke langit. Kalau mesin itu benar, maka saya bukan lagi manusia, melainkan sebuah aplikasi, sebuah wujud dari algoritma, sebuah robot?

Apakah manusia tak lagi percaya pada inderanya sendiri?

Kenapa manusia butuh mesin untuk memberi cap pada tulisan, ini asli, ini palsu?

Mesin yang tidak pernah jatuh cinta, tidak pernah melewatkan malam-malam gemetar kelaparan, tidak pernah berdiri di tepi jembatan sambil bertanya, “Untuk apa aku terus hidup?” Tidak pernah berjalan kaki sejauh delapan kilometer sebab tak punya uang dengan baju basah oleh keringat, dan kini mesin itu mengukur tulisan saya dengan angka, dan angka itu mengalahkan seluruh pengalaman manusia hidup.

Tidak puas dengan satu tulisan, saya mengambil sampel tulisan lain, dan tulisan lain lagi, hasilnya seragam. 75% sampai 90% hasil AI. Lalu saya mengutip paragraf milik Tolstoy. Ajaibnya, tulisan itu pun dianggap hasil AI dengan skor 75%. Bagaimana AI bisa mengaku-ngaku karya Tolstoy sebagai miliknya? Tolstoy yang menulis tentang perang dan damai, tentang cinta dan maut, tentang batin manusia. Lalu siapa yang palsu? Saya, mesin, atau dunia yang percaya pada skor 75% itu?”

🌿