Alang-Alang

Anak Lelaki dan Sebuah Janji

Sabana terbentang seperti lautan emas di bawah matahari yang hendak rebah, menyingkapkan jalan kepada seekor induk singa kurus berbulu kusam yang melangkah sendiri, dengan kedua mata memandang lurus ke arah utara, pada sebuah tanah purba tempat ia meninggalkan separuh jiwanya. Di sana, anak lelakinya menanti janji yang diucapkan pada malam yang berbau asap dan darah. Induk singa menggumam, “Akan kutepati. Apa pun yang harus kutempuh.”

Segalanya dimulai ketika siluman rubah berubah wujud. Siang ia menjadi penggembala yang menuntun kawanan domba di padang terbuka, malam ia menjadi domba paling alim, menunduk dengan bulu putih, mata sayu, dan mulut penuh fatwa. Di balik wujud-wujud itu tersembunyi taring dan kelicikan yang tahu persis bagaimana menuduh tanpa bercermin. Ia jatuh cinta pada seekor burung merak. Merak bahenol dengan bulu menjuntai bagai pelangi retak. Mereka menari di bawah cahaya bulan, sementara induk singa yang setia dilemparkan ke arena pengadilan.

“Induk singa telah keluar dari hukum-hukum kesatwaan, menyalahi aturan, melakukan ritual pemanggilan arwah leluhur yang terlarang. Ia bukan lagi betinaku.” Begitu tuduhan yang dilontarkan siluman rubah, menggema ke seantero padang rumput.

Banteng menyeruduk, sapi melenguh, domba-domba ramai mengembik, sementara gajah menggeleng pelan. Malam berakhir dengan kandang terbakar. Tumpukan jerami menjelma lautan api manakala siluman rubah menghilang bersama merak bahenolnya, meninggalkan abu dan tangis. Induk singa meraung sebentar, meratapi tahun-tahun bersama rubah siluman yang dahulu nampaknya bukan siluman, juga tahun-tahun ketika ia begitu melarat, setiap hari mendekap di dalam kandangnya yang lapuk, hanya makan rumput dan daun-daun kering, dan semua itu, berbalas pengkhianatan keji. Ia lantas melempar dendam ke dalam kobaran api, tak memiliki waktu lebih lama untuk berduka apalagi menggugat. Ia selamatkan perbekalan terakhir dari dalam kandangnya. Segera ia gigit tengkuk anaknya, dibawanya sejauh mungkin, berlari di antara nyala merah panas dan pekik hewan-hewan yang tertinggal. Tujuan sementara adalah tanah kelahirannya yang dijaga pohon-pohon raksasa. Ia belai kepala anaknya yang masih mungil, menatap matanya yang berkabut.

“Tunggulah,” bisiknya dengan suara gemetar. “Saat kau tumbuh menjadi singa kecil yang tangguh, aku akan datang. Kau bilang, kelas tiga? Maka kelas tiga.”

Induk singa menatap anaknya meringkuk di balik semak dengan tubuh bergetar. Ia memutar tubuhnya sekuat tenaga, menahan raung yang mendesak keluar. Ia pun pergi, membawa luka yang tak bisa disembuhkan oleh apapun dan siapa pun.

Ia bertahan hidup dengan sisa-sisa tenaga. Musim pertama dilaluinya dengan berburu di pinggir sabana, merebut sisa-sisa daging yang diremehkan kawanan. Pada musim kedua ia pindah ke tepian hutan, memakan akar dan buah, hingga tubuhnya kian kurus. Tapi api di matanya tetap berkobar. Setiap malam, sebelum tidur, ia mendengar gema suara anaknya memanggil dari jauh. Setiap malam ia ulang janji itu sembari membekapkan kedua tangan di dada: kelas tiga.

Ia melihat dari jauh bahwasannya siluman rubah telah kembali ke padang lama bersama merak bahenol, dan kini mereka memiliki surat keluarga satwa. Mereka disambut sorak sorai gembira oleh kaum banteng, sapi, domba, dan juga gajah. Mereka membangun kandang baru. Merak bahenol kerap bersolek di teras depan seraya memamerkan bulu-bulunya yang gemerlap pada sekawanan bebek menganga. Dunia tetap berjalan. Berbahagialah sang rubah dan sang merak. Induk singa pergi semakin jauh dari padang lama, tak sekali pun menoleh ke belakang, tak sekali pun ingin mengingat mereka lagi. Di pikirannya kini hanya ada anaknya. Ia menahan lapar, menahan sepi, menahan rindu kepada singa kecil dengan kerinduan yang menggigit lebih tajam dari giginya sendiri.

Angin membawa bau hujan, memberi pertanda bahwa musim ketiga telah datang, dan induk singa belum siap akan perubahan musim yang lebih cepat dari dugaannya. Di setiap tarikan napasnya, ia mencium sesuatu yang terasa akrab. Aroma tanah. Aroma janji. Dan demi apapun, ia akan menepatinya, meski harus ditebus dengan nyawanya. Ia menjelajahi hutan-hutan asing, mencari tempat di mana anak singa bisa berlari bebas tanpa di olok-olok, bisa mengaum dengan kebanggaan akan jati dirinya sendiri dan, terutama, bisa tidur dengan kelegaan yang hanya bisa dimiliki oleh makhluk-makhluk yang hidup secara utuh, secara penuh, dapat mengikuti panggilan jiwanya dengan tetap berpegang teguh pada satu aturan semesta yang berlaku di seluruh rimba raya, satu aturan sederhana untuk memperlakukan makhluk lain sebagaimana diri ingin diperlakukan, untuk tidak menyakiti sebagaimana diri tak ingin disakiti. Namun, meski sederhana, perlu kesadaran dan laku seumur hidup untuk mempraktikkannya.

Perjalanan panjang induk singa berakhir di hutan kecil nun jauh di sana, jauh dari padang lama, jauh dari tanah purba, jauh dari masa lalu yang telah melabelinya dengan rupa-rupa kegagalan sebagai satwa. Ia merendam kakinya ke dalam sungai yang mengalir tenang sembari mendengar detak jantung sendiri. Hewan-hewan berjalan di sekitarnya. Setiap mata memancarkan rona gembira, setiap mulut bercengkrama tentang hari yang sama menyenangkannya meski hujan atau panas, dan beberapa suara terdengar menyenandungkan tembang “Hidup Damai di Rimba Raya”. Ia tahu, inilah tempat yang tepat untuk mengurus anak singa kecilnya, tempat yang selaras dengan nilai-nilai jiwanya, tempat yang memberi hak utuh bagi anak-anak dapat tumbuh dewasa sesuai dengan kesejatian diri mereka.

Kelas tiga. Anaknya masih kelas tiga. Janji masih dapat ditepati. Janji yang telah menjadi satu-satunya tekad yang ia akui, dan satu-satunya alasan api di matanya senantiasa menyala.

Langit petang seperti lukisan anak kelas tiga yang memenangi lomba. Gunung berwarna kelabu dengan mega-mega merah dan burung-burung hitam. Ia berjalan melewati semak berduri, melewati jejak-jejak lama yang hampir hilang. Ia menahan perih di kakinya yang berdarah, juga bulu-bulunya yang telah koyak. Di setiap langkah, ia seakan mendengar bisikan, “Ibu sudah janji.”

Tanah purba muncul di ujung pandangan matanya yang telah kabur. Pohon-pohon raksasa masih tegak, bayangannya merentang seperti lengan yang hendak memeluk. Ia merunduk, menahan debar-debar dalam dada, was-was pada reaksi anaknya.

Ia melihat gerakan kecil di balik semak. Seekor singa muda berdiri. Tubuhnya tegap, matanya tajam. Matanya... matanya sendiri. Ketika ia menoleh, ia merasakan sesuatu yang lebih kuat dari angin. Ia menahan jeritan yang hampir lolos dari deretan giginya. Ia melangkah pelan, satu-satu, sampai mereka berdiri berdekatan. Lalu dunia mengecil. Bulan tampak terbelah, sebagian cahayanya seperti senyum seorang ibu, sebagian lagi seperti senyum seorang bayi. Bulan yang sama yang pernah menyaksikan perpisahan, bulan yang dulu hitam, kini berbinar-binar, menerangi dua makhluk di bawahnya.

Di tanah itu, seolah hanya ada bulan purnama, induk singa, dan anak lelakinya.

“Ibu, apa ibu sudah punya rumah baru untuk kita?”

Induk singa menunduk, menatap mata anaknya yang berkilat oleh pengharapan. “Sudah,” bisiknya. “Ikutlah.”

Mereka berdua melangkah pelan, meninggalkan tanah purba yang pernah disebut rumah. Bumi tua bergetar marah, retak-retak, menelan jejak langkah kaki mereka. Ia tak sudi ditinggalkan, sebab baginya, si anak singa telah tumbuh di atas tanahnya, dalam asuhan dan perlindungannya. Pohon raksasa merendahkan dahannya untuk menghalangi jalan. Rantingnya mencakar-cakar udara, berusaha menangkap anak singa dan induknya, mengembalikan mereka ke tempat asal. Tak ada yang dapat melawan kekuatan pohon berusia ribuan tahun, pohon yang telah menyaksikan kepunahan binatang-binatang besar.

Induk singa tidak berhenti, tak peduli jikapun pohon raksasa sekuat dewa-dewa. Ia akan lepas darinya, ia akan membawa anaknya. Siapa yang bisa melawan kehendak ibu atas darah dagingnya? Siapa yang bisa menentang seorang anak yang memilih ibunya?

Ia mengangkat anaknya ke punggung, napasnya terengah, ototnya menegang, sementara sorot matanya tetap menatap ke depan, ke hutan kecil nun jauh di sana, tempat janji itu akan ditunaikan. Ia terus berlari tak peduli angin berteriak, sulur-sulur menjerat, akar-akar menghambat. Ia patahkan semuanya dengan taring-taringnya yang tajam, sambil memeluk anaknya lebih erat. “Tidak ada yang bisa menghentikan kita.”

Ketika batas antara tanah purba dan dunia baru terlampaui, hening turun perlahan. Di kejauhan, hutan kecil menunggu—sunyi, kesunyian yang melegakan dan penuh kemungkinan.

Induk singa menurunkan anaknya di atas tanah basah yang wangi oleh hujan pertama. Mereka saling menatap, lelah dan utuh, meninggalkan bayang-bayang masa lampau di belakang, bayangan yang tak dapat lagi mengejar mereka, tidak meski sekadar mengintip dalam mimpi. Di depan mereka hutan kecil menyambut.

“Ini rumah baru kita.”

🌿

Email Saweria