Alang-Alang

Apa yang Lebih Setia dari Suami?

Kau sedang menyanyikan lagu bintang kecil seraya menepuk-nepuk pundak anakmu supaya ia segera terlelap manakala satu pertanyaan lahir begitu saja dalam kepalamu. “Apa yang lebih setia dari suami?”

Di rumahmu, atap dapur terbelah selama bertahun-tahun tanpa pernah diperbaiki dan, setiap hujan datang kau menggulung karpet, memindahkan perabot, dan menadahkan tiga ember besar. Air hujan tetap setia membuatmu repot mengepel lantai.

Anakmu memanggilmu ibu, tak berubah panggilannya dari waktu ke waktu, tak peduli berapa kali kau mengabaikannya atau membentaknya di antara kelelahan yang menyergapmu. Apa sebutan yang tepat untuk sikapnya, dan juga sikapmu?

Waktu selalu datang melibas hari-harimu tanpa peduli bahwa kau sedang menunggu suamimu yang terlambat pulang setiap malam, lalu sesuatu bernama sepi, menemanimu duduk di tepi ranjang, sama-sama menanti suara deru motor berhenti tepat di depan pintu.

Kau dibesarkan dengan cerita bahwa laki-laki setia adalah anugerah terbesar dalam hidup, bahwa kebahagiaanmu ditakar oleh kepulangannya, oleh tubuhnya, oleh uangnya, oleh kata-katanya, tanpa peduli pada dusta yang terselip di ujung lidahnya.

Apa kau berani mendengar kejujuran malam ini?

Berapa banyak perempuan yang menemukan dirinya menunggu, menua, dan merasa kecil demi sebuah kata ‘setia’?

Kau melupakan tubuhmu sendiri yang memelukmu bahkan ketika kau tak memedulikannya, napasmu yang terus datang meski kau ingin menyerah, lantai rumahmu yang tak mengeluh walau setiap hari kau menginjaknya. Kalau kau berani mengakuinya, maka dirimu sendiri yang menduduki urutan nomor satu dari daftar kandidat paling setia ketika kau akhirnya memilih untuk berpihak pada hidupmu.

Kau memikirkan ini saat berdiri di depan kompor menyala yang mendidihkan sepanci sayur asam, lalu memikirkannya lagi ketika membersihkan sarang laba-laba dan menjemur celana kolor suamimu, dan terus memikirkannya sambil meredakan tangis anakmu, sampai satu hari, pikiran itu tak lagi menarik bagimu manakala kau lihat suamimu memilih wanita lain untuk menggantikanmu.

Kau ingin menerima bahwa penyelewengan hanyalah satu keniscayaan dalam hidup, bahwa banyak lelaki yang melakukannya, bahwa kau tak perlu sebegitu menderitanya. Namun, tetap saja, bayangan wanita itu kerap datang dalam mimpi-mimpimu, wanita yang rumahnya terhalang tiga rumah dari rumahmu, wanita yang kau sapa setiap kali berpapasan di jalan. Kau tidak tahu siapa yang lebih ingin kau benci: suamimu yang menggadaikan rumah tanggamu demi uang, atau wanita itu yang dengan senyum licik memberikannya, seolah-olah bisa membeli harga sakit hatimu, membeli kehormatanmu, membeli sisa hidup yang seharusnya aman di tanganmu sendiri.

Kau merasa seperti dijual juga, dan wanita itu berdiri di sisi lain dengan wajah tak bersalah, seolah tiap rupiah yang dia keluarkan bisa menutupi rasa jijik yang menempel pada pengkhianatan mereka. Kau ingin menjerit, ingin menampar, ingin menelan dunia—tapi yang tersisa hanyalah dirimu yang dikalahkan, dirimu yang ditinggalkan, dirimu yang dibuang selayaknya sampah.

Kau tinggalkan rumah dengan atap bocor itu, rumah yang menyaksikan kemelaratan hidupmu, hari-hari kelaparanmu, amarahmu, pertengkaran yang membelah tubuhmu menjadi dua, satu yang ingin bertahan dan satu yang ingin melarikan diri, rumah yang menistakan dirimu sebagai perempuan, yang telah membantingmu ke dasar jurang paling dalam, rumah yang kalian perebutkan dan kau yang memenangkannya sebab akhirnya kau bisa menggunakan lagi otakmu.

Lalu suamimu menyebar kabar buruk atasmu, untuk mengoyak jiwamu dengan berlindung di balik jubah keramatnya yang mengundang simpati, yang membungkus dusta-dustanya dan menutupi aibnya. Kau saksikan mata demi mata menatapmu dengan olok-olok, juga jari-jari yang menudingmu gagal menjadi istri, serta suara-suara yang menusuk punggungmu seolah kau telanjang di tengah pasar.

Kau berjalan pergi meninggalkan masa lalumu, sebab apa artinya fitnah bila kau sudah pernah lapar sampai tulangmu memprotes dengan tonjolan-tonjolannya? Apa artinya olok-olok bila kau sudah pernah menatap jurang yang siap menelanmu? Apa artinya tudingan jari bila tanganmu pernah kau gunakan untuk menampar wajahmu sendiri, dengan kesadaran penuh bahwa kau ingin lenyap?

Kau terus berjalan karena kini kau bukan lagi perempuan yang menunggu, melainkan perempuan yang pulang, bukan ke rumah lama, bukan ke tanah purba, tapi ke dirimu sendiri. Manakala kau sampai di ujung jalanmu, kau akan mendapati, bahwa setia yang kau cari selama ini bukan pada suami, bukan pada siapapun, melainkan pada tubuhmu sendiri, pada langkahmu, pada tekadmu yang menolak mati meski dunia mencoba menguburmu berkali-kali.

Jadi, apa yang lebih setia dari suami? Segalanya, kecuali dia. Itu kabar yang perlu kau dengar jika kau berani menulis ulang arti setia.

🌿