Alang-Alang

Daftar Lima Belas tanpa Perempuan Gila

Saya menelusuri “Perempuan Gila di Persimpangan” dari daftar 15 besar pengumuman hasil sayembara. Tidak ada. Seperti ketika saya menelusuri Rumah di Papan Tulis, Ke Mana Kuajukan Proposal Hidup, serta puluhan judul tulisan lain yang tidak pernah muncul dalam daftar.

Bagaimana saya bisa mendapatkan uang tambahan?

Itulah yang saya pikirkan pertama kali setelah mendapati gagal dalam lomba menulis.

Menjelang akhir tahun ini saya menerima kekalahan berturut-turut hampir setiap bulan, dan setiap itu terjadi rancangan dalam kepala saya yang semula indah—menggunakan uangnya untuk membawa anak saya tinggal bersama saya—menjadi buyar.

Namun, kali ini, saya sudah membayar uang pendaftaran sekolah, sudah mendatangi ketua RT setempat untuk keperluan mengganti dokumen identitas, sudah meminta ijin kerja dan mudik di awal November. Dengan atau tanpa uang hadiah dua puluh lima juta, meski yang saya miliki sebatas gaji UMR Solo, anak saya tak boleh lagi terlalu lama terpisah dari saya. Bukan masalah besar bagi saya meski Novel Perempuan Gila di Persimpangan menjadi anggota baru dari Tulisan-Tulisan yang Diabaikan. Oh ya, klub Tulisan-Tulisan yang Diabaikan perlu diperbarui:

Satu hal penting dalam hidup saya kini, sebagaimana selalu dan selalu saya katakan dalam banyak tulisan saya yang lain, bahwa saya akan mati dalam penyesalan jika tak bisa mengurus anak saya sendiri.

Menulis Perempuan Gila di Persimpangan, dalam kasus saya, lebih mirip dengan melahirkan. Ada banyak kata-kata dalam kepala saya, saling berdesakan, saling meminta wujud, meminta tempat. Setelah lahir dan kini saya memandang dengan lebih cermat, saya tidak tahu ia termasuk dalam bentuk apa. Seperti bukan novel, seperti puisi tapi bukan puisi, entahlah.

Satu hal pasti bahwa novel ini tidak dibangun dari kerangka, tidak lahir dari plot, tidak dimulai dari alur. Ia memang lahir dari puisi. Atau lebih tepatnya, dari rasa sakit yang hanya bisa disuarakan melalui syair. Tiga puisi utama—Burung Mati, Lapar, dan Mimpi—ditulis lebih dulu. Masing-masing puisi adalah simbol perjalanan jiwa perempuan yang hancur, lapar, dan akhirnya terhubung dengan suara dalam dirinya sendiri—melalui mimpi dan keheningan. Puisi-puisi ini menjadi saksi dan titik balik batin yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

Setelah puisi selesai, barulah lahir tubuh narasi. Struktur novel pun mengikuti puisi: mengalir, menyela, dan mengendap. Bentuknya berupa catatan—fragmen—yang kadang menyerupai doa, kadang sekeras sumpah serapah, kadang hening. Mimpi menjadi medium naratif penting, jalan penyingkapan, hadir dalam momen kejatuhan dan kebangkitan spiritual yang tak memberi jawaban, hanya mengguncang persepsi.

Narasi seperti ini barangkali lebih dekat dengan spiritual realism. Bukan keajaiban yang tampil, tapi makna yang dicerna pelan-pelan, seolah kehidupan itu sendiri adalah simbol.

Sepanjang menulis, beberapa pertanyaan menggema dalam benak saya: apa yang terjadi saat saya berhenti bicara kepada orang lain, dan mulai mendengar diri saya sendiri? Bagaimana cara saya memandang hidup saat iman tumbuh dari kesadaran dalam hening, dari pengakuan pelan-pelan yang tak bersuara, dan dari proses panjang memaafkan diri sendiri?

Novel ini bukan hasil perhitungan, melainkan kelahiran. Dan kelahiran tidak pernah teratur.

Saya menemukan jalan pulang dengan menuliskannya.

Saat ini tinggal mengupayakan agar anak saya bisa menyertai perjalanan saya.

🌿