Di Persimpangan Jalan
Apa sumber dari segala fenomena hidup?
Aku lahir dalam ketakutan. Dibesarkan dalam suara-suara bentakan yang memerintah diam. Kata-kata tentang surga ditanamkan sebelum aku tahu rasa nasi pulen hangat dan lauk yang enak, yang mengenyangkan. Sejak kecil, aku diajari bahwa sabar adalah mahkota perempuan. Bahwa lapar adalah ujian, bukan tanda sistem yang busuk. Bahwa diam adalah ibadah, bukan penjara.
Dan aku mencoba menjadi baik.
Aku menjadi anak yang menerima ketika dipukul, dicemooh, dan tak diajak bermain. Menjadi istri yang tidak pernah meminta. Ibu yang menahan lapar agar anak tetap makan. Perempuan yang tidak berutang meski perut kosong berhari-hari, sampai daging menyusut, menyisakan tulang-tulang bertonjolan. Tak menggugat saat diolok-olok. Karena katanya, perempuan baik masuk surga dari pintu mana saja, dan orang miskin ringan hisabnya.
Tapi aku melihat yang berkata demikian tinggal di rumah-rumah marmer, berbicara tentang zuhud di atas mimbar dan menerima bayaran besar, memakan jamuan daging sapi dan buah-buahan berharga mahal, lalu pulang ke istri kedua di rumah peristirahatan.
Hatiku kesal terhadap orang-orang seperti mereka. Iri hati. Pada mulanya. Sebab aku dan kaum jelata yang disuruh bersabar, tertatih menahan lapar dan memanggul aib yang diwariskan. Jiwaku dipenuhi dendam dan kebencian, yang senantiasa kupelihara.
Tapi kehidupanku tak berubah karenanya. Tidak menjadi baik. Celakanya, justru semakin buruk.
Aku mengiba kepada Tuhan. Aku berpacu dalam laku sujud sembahyang. Aku berdiam dalam lapar. Tidak ada sesuatu terjadi. Kehidupan tetap seperti sebelumnya, seperti yang sudah-sudah.
Lantas aku menyingkir. Meninggalkan kerumunan.
Keheningan ini mulanya sebentar, tapi semakin lama, semakin aku merasa bahwa cukup begini saja. Hening saja. Sendiri saja. Tak ada hal penting lagi untuk dipelihara dalam diri. Termasuk kepahitan dan dendam kesumat. Juga ambisi-ambisi gila. Bahkan sesederhananya keinginan untuk berkawan.
Jadi apa lagi? Hidup nyatanya merupakan perulangan. Tak ada yang baru di bawah matahari.
Termasuk kemiskinan. Penderitaan. Berulang dari zaman ke zaman.
Lalu di tengah malam, seperti seorang pengembara yang tiba-tiba terjaga di tengah hutan, aku terbangun dalam tubuhku sendiri—bertanya-tanya, untuk apa aku di sini? Apa makna dari kelahiran, dari rasa lapar, dari kerja keras yang mengikis waktu dan kulit, dari perih yang berkepanjangan tanpa sebab yang jelas?
Apa sumber dari segala fenomena hidup? Apa yang melatari terbentuknya alam semesta? Apa yang membuat satu orang terlahir di istana dan yang lain di lumpur? Mengapa ada tawa di satu sisi bumi, dan jerit kesakitan di sisi lainnya? Mengapa cinta datang tanpa bisa dijelaskan, dan mengapa ia bisa pergi tanpa permisi? Jika Tuhan Maha Pengasih, di manakah kasih itu ketika tubuh-tubuh anak kecil dikubur dalam reruntuhan perang? Jika semesta berpihak pada kebaikan, mengapa yang jahat kadang tampak menang?
Jika kerja keras menentukan kesejahteraan, maka bapakku, kakekku, dan banyak orang-orang di sekitarku, semestinya mendapat antrian pertama dalam pembagian kekayaan. Tapi mereka memang bukan orang pintar. Maksudku, mereka tidak sekolah.
Apakah kepintaran yang menjadi penentu? Jika demikian, mengapa aku yang selalu juara kelas tetap bernasib nahas?
Apakah hidup ini sekadar permainan takdir? Atau ada pola, hukum tak terlihat, getaran yang menjalin segalanya menjadi satu jaring realitas?
Aku pernah berpikir bahwa aku perlu menjadi sesuatu untuk dianggap hidup. Bahwa dunia hanya memberi tempat bagi mereka yang punya gelar, profesi, dan pengikut. Aku sudah berupaya mati-matian untuk sampai ke sana, dan sialnya, nasib tak membawaku ke mana-mana.
Sekarang yang tertinggal dalam diriku, sekadar kerinduan yang lebih sunyi: hidup dalam dunia anak-anak bersama anakku, bermain dan belajar dari pandangannya yang murni, menanam sayur, menulis cerita, mendengarkan angin.
Ia sedang memandangku, menunggu arah. Aku tak ingin ia hidup dengan luka yang sama.
Tapi aku masih berdiri di persimpangan, tak mengerti. Sementara hidup terus berjalan.
Aku mencari-cari pintu keluar. Terhadap sistem. Terhadap kebohongan. Terhadap agama yang dijadikan alat.
Jika jiwaku selamat, satu anak tumbuh bebas, tumbuh dalam dunia yang selayaknya anak-anak. Bermain. Belajar. Menjelajah. Bersenang-senang.
🌿