Alang-Alang

Dunia di Balik Kelopak Mata

Matahari terbenam terlalu cepat, meninggalkan Rembulan menggantung sekarat

Di hari kematiannya, langit kota meredup, seakan memberi pertanda bahwa matahari dalam hidupku telah pergi tanpa pamit. Aku berbaring memandangi awan kelabu di balik jendela terbuka, dan saat itu aku tahu, ketiadaannya bukan sekadar berita duka yang kubaca melalui akun media sosial—itu adalah awal dari malam-malam sunyi keparat yang menjalar lambat.

Aku membaca puisi terakhirnya berulang-ulang seperti orang tolol yang berharap satu kata berubah makna, satu kalimat bisa membatalkan maut. Tapi kata-kata itu diam. Seperti batu. Seperti kematian itu sendiri.

“Rembulan menggantung di langit. Meski dunia tetap bangsat, rembulanku masih yang termanis.”

Aku mengingat tawanya malam itu. Tawanya yang terakhir. Sekarang di dalam kubur, entah ia bisa tertawa atau terus meraung kesakitan disiksa malaikat.

Aku menutup mata dalam gelap, menahan napas sampai dada sesak, berharap bisa menembus selubung tipis antara dunia ini dan dunia di mana ia mungkin masih berjalan. Aku memanggil namanya berulang-ulang dalam hati, membayangkan wajahnya dalam pikiran, sejelas mungkin, seolah-olah aku melihatnya dalam kenyataan. Lalu aku tidur. Atau mungkin tidak. Sebab sejak hari itu, aku tak pernah tidur dengan cara yang sama. Batas antara tidur dan sadar tak pernah lagi jelas.

Di malam ketujuh setelah kematiannya, pada percobaan sinting berulang-ulang untuk dapat bertemu dengannya, aku menemukan diriku dalam sebuah kota tua yang ganjil. Suara anjing liar menggonggong di kejauhan. Lampu-lampu redup seperti tak punya niat untuk menerangi apapun. Di sudut jalan, perempuan-perempuan tanpa mata berbisik dalam bahasa yang tak kupahami. Aku tahu ini mimpi. Kadang aku sadar sedang bermimpi, mampu mengalami mimpi di dalam mimpi, atau memaksa tubuhku bangun saat malam menjelma jadi teror. Dan ini, mimpi buruk yang busuk. Aku ingin menemui lelakiku. Bukan perempuan tanpa mata.

Di malam keempat belas, aku kembali ke kota tua itu. Kota yang seolah dibangun dari puing-puing mimpi orang-orang sekarat. Bangunannya tak pernah selesai, jalanannya penuh kabut, dan udara berbau logam basah. Aku tidak menemukannya di sini. Aku memaksakan diri untuk bangun.

Pada malam ke seratus, aku merasa tubuhku mengambang, dan saat kubuka mata, aku berada di sebuah kamar dengan lampu remang-remang, aroma dupa bercampur bau kayu basah, dan di sana—di sudut ruangan—ia duduk.

Wajahnya tidak setua kenangan terakhirku. Matanya menatapku tanpa heran, seolah-olah ia memang menungguku datang.

“Kita selalu begini,” katanya. “Kau mencari, aku menunggu. Tapi di mana-mana, kau selalu terlambat.”

Ia berjalan ke arah jendela. Aku mengikutinya. Di luar, bulan merah tergantung besar, seakan hendak jatuh ke bumi.

“Lalu… apa yang harus kulakukan?” tanyaku, dengan suara yang tak kukenal, seolah bukan milikku.

“Tidurlah. Mati di sini. Bangun di sana. Lalu cari aku lagi. Kau tak akan pernah selesai. Kau hanya ingin meyakinkan dirimu bahwa kematian bisa ditunda atas nama cinta.”

Seketika aku bangun, tersentak kaget. Perlu waktu berhari-hari untuk menenangkan diri usai pertemuan pertama dalam mimpi itu. Aku mencoba mencari kesenangan dari berbelanja, jalan-jalan, dan makan-makan. Tapi seperti biasa, hal-hal seperti itu berakhir dengan penyesalan, sebab pikirku, aku telah menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang hanya berakhir di dalam toilet dan tong sampah.

**

Pagi itu, suara keributan terdengar dari jalan raya. Aku berlari ke sana, di antara massa yang berdesak-desakan, mengangkat spanduk kumal dengan tulisan tangan: “Keadilan Bagi Kaum Buruh”

Ia berjalan paling depan, memegang megaphone, keringat membasahi dahinya. Tangan kirinya terbalut perban. Orasinya membakar udara, mengingatkanku pada kenangan kami saat remaja dulu, duduk di emperan toko sepulang sekolah, menyusun mimpi tentang membakar gedung dewan. Aku terhimpit kerumunan saat mencoba mendekatinya. Lalu aku terbangun. Terengah-engah kelelahan. Tubuh terasa remuk, persendian kaku seolah telah berkarat selama ratusan tahun. Kamarku sempit, temaram, catnya mengelupas, dan suara teriakan para demonstran masih menggema di kejauhan. Sejenak aku tak tahu siapa aku, di mana ini, tahun berapa.

Aku bangkit. Membasuh muka. Menatap cermin. Seorang perempuan dengan kulit keriput, matanya cekung. Aku melihat lama sekali pada sepasang tangan yang pernah memegang kepala lelaki itu dengan cinta dan kebencian yang sama besarnya.

“Kau mimpi buruk?”

Aku menoleh kaget. Ia duduk di tepi ranjang. Aku memperhatikan wajahnya, wajah berusia lima puluh tahun. Rasa takut merayap pelan-pelan bersamaan dengan ingatanku yang mulai menyeruak. Wajah berusia lima puluh tahun itu adalah wajah terakhir yang kulihat sebelum kecelakaan.

Aku bangun. Lalu menatap sekeliling. Cukup lama bagiku untuk menyadari di dunia mana aku berada.

Dua jam kemudian aku kembali bekerja. Menukar keterampilan dengan recehan. Hidup di kamar kos sempit. Mendengar orang-orang mengumpat pada berita-berita perselingkuhan, berbicara tentang Tuhan dan moral seakan-akan mereka mengerti sesuatu. Menyaksikan mereka sibuk mengisi waktu dengan hal-hal remeh, seolah-olah itu adalah perbuatan luhur yang bisa membendung kemalangan dan penderitaan.

**

Sudah setahun sejak lelaki itu dihantam truk saat pulang dari aksi unjuk rasa. Tertulis di berita koran: “Aktivis senior tewas kecelakaan lalu lintas.” Tak disebut soal aku, soal perempuan jalang di balik kamar sewa, soal puisi-puisi aib yang ia tulis malam-malam untukku. Hubungan kami tersimpan rapat sampai ke liang lahat. Di rumahnya, istri dan anak-anaknya menangis.

Kematian memang cara paling kejam untuk memisahkan sepasang kekasih. Seperti pencuri di malam hari, tiba-tiba, diam-diam, tak terduga. Rasa sakit yang ditinggalkannya melampaui semua perpisahan yang telah kami lalui. Orang-orang datang dan pergi, lelaki itu bertahan dari permulaan sampai akhir, sampai mati. Dan sejak itu, dunia ini kosong.

Hidupku berjalan lurus bagai kereta barang, menuju rel kerontang yang entah di mana ujungnya. Semakin tua, letih, terkubur hidup-hidup dalam kesadaranku sendiri. Tubuhku seperti bangkai yang ditinggalkan di tengah ladang, membusuk pelan-pelan.

Satu-satunya hal yang membuatku masih merasa menjadi manusia adalah ketika aku meninggalkan tubuh dan masuk ke dunia mimpi. Dunia realitas lain yang kurancang dan kubangun sendiri.

Aku mencatat mimpi-mimpiku.

Dalam satu mimpi, aku hidup bersamanya selama lima belas tahun. Kami menikah. Punya anak. Tinggal di rumah kecil yang dikelilingi pagar bambu. Aku menyisir rambutnya tiap pagi, mencuci luka di punggungnya tiap malam. Di sana, aku merasa bahagia — atau setidaknya begitu aku kira. Hingga suatu hari ia meninggal juga, tertembak saat memimpin unjuk rasa. Dan aku, perempuan tua yang ketakutan di ranjang, kembali membuka mata di dunia ini, hanya untuk menemukan bahwa semua itu hanyalah dunia di balik kelopak mata.

Aku merasa letih. Letih sekali. Letih hidup berkali-kali. Letih mencintai dan kehilangan lagi, dalam lingkaran setan yang tak kunjung putus.

Mungkin hidup ini cuma lelucon usang yang diulang-ulang oleh sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang terlalu malas memberi kita akhir yang berbeda. Sebab di dunia yang sesak begini, tak ada yang lebih pasti daripada kematian, dan tak ada yang lebih sia-sia daripada hidup itu sendiri.

~ Cerpen untuk lelaki berengsek yang tiba-tiba mati.

🌻

Email Saweria