Alang-Alang

Episode Awal

Apa yang menopang kehidupan manusia dan cara kerja alam semesta?

Sebelum memutuskan untuk pergi, aku telah bertanya kepada diriku sendiri: apa yang membuat seseorang nekat memulai ulang hidupnya tanpa jaminan? Jawabannya tak pernah lengkap dalam pikiranku—tapi tubuhku sudah bergerak lebih dulu.

Hari ini aku meninggalkan kota seperti mencabut akar sendiri—dengan ransel di punggung, kebohongan-kebohongan kecil di bibir, dan rasa lega yang bentuknya sulit dijelaskan. Pagi dimulai dengan kemarahan bos besar, tapi cukup profesional untuk tetap memotret kebersamaan menjelang perpisahan, mengucapkan pesan mengharukan, dan mentraktir makan siang di restoran—meski ia sendiri tak ikut serta. Aku menerima kado berupa tas dan sepatu, juga karangan bunga yang disusun dari cemilan—seakan semua itu adalah bekal terakhir sebelum melangkah ke tanah asing.

Sore hari aku naik elf menuju stasiun. Kepada pemilik kos aku bilang akan ke Jawa Timur—sebab saudaraku bekerja di sana, sementara kepada rekan kerja aku bilang akan ke Tangerang—kota tempatku kuliah dulu, dan kepada orang tua, tak ada kabar sama sekali.

Orang butuh pekerjaan untuk bertahan hidup, butuh kenalan untuk tinggal di tempat baru. Maka kusebutkan saja nama-nama kota paling masuk akal untuk menenangkan mereka. Sementara aksi nekatku tak masuk akal. Namun, apakah hidup hanya ditopang oleh akal?

Manusia bisa membangun istana dengan pilar yang menjulang, rumah nyaman dengan kasur empuk, juga jembatan yang membelah sungai. Tapi apa yang menggerakkan mereka untuk berani menyeberang? Apa yang membuat mereka pulang ke rumah dengan hati tenang? Dan, sebaliknya, apa yang membuat sebagian orang tega meledakkan semuanya?

Selama hidupku, aku kerap bertindak menentang logika, menentukan arah berdasarkan gerak batin. Padahal pekerjaanku selalu berkaitan dengan berhitung: pembukuan dan keuangan.

Kini aku sendirian, memanggul tas besar, berjalan menuju stasiun, pertama kalinya naik kereta sehingga bertanya kepada siapa pun yang terlihat mengenakan seragam: di mana toilet, di mana ruang tunggu, ke mana harus melangkah untuk bisa naik kereta tepat waktu. Jadwal kereta pukul 00.30, tetapi aku sudah tiba sejak pukul tujuh. Dua jam menjelang keberangkatan aku diarahkan menuju ruang tunggu dalam. Begitu pintu dibuka, udara dingin menyeruak. Sofa dan kursi panjang berjajar rapi.

Aku memilih tempat duduk paling pojok, membaringkan tubuh, menutup mata dengan jilbab untuk menahan silau lampu. Nyaman sekali, setelah berjam-jam sebelumnya terguncang di jalan.

Malam ini, di stasiun yang tak pernah kusinggahi sebelumnya, aku memulai taruhan: sendirian menuju kota yang sepenuhnya asing, tanpa mengenal seorang pun, memulai hidup yang tak punya jaminan, hanya berpegang pada keyakinan kecil akan keberadaan sesuatu yang tak kasat mata—yang dulu pernah menolongku saat lapar, kini akan kucoba lagi di tengah kenyang dan kosong.

Kereta itu meluncur seperti garis nasib: panjang, bising, tanpa ampun, tetap melaju walau aku tertinggal. Kupastikan kakiku melangkah masuk begitu pintu terbuka.

🌿