Ke Mana Kuajukan Proposal Hidup?
Usiamu tiga puluh delapan kala kau mengundurkan diri dari pekerjaanmu yang memberi rasa aman tapi menyesakkan, meninggalkan kenyamanan semu yang perlahan membunuh jiwamu, demi menyusuri jalan-jalan di kota asing mencari pekerjaan baru, sendiri, dengan satu keyakinan samar bahwa langkahmu adalah bentuk kepatuhan pada panggilan luhur jiwamu, bukan kesintinganmu. Kau memilih Solo, bukan karena kota ini menjanjikan emas, melainkan karena hening, jauh dari riuh masa lalumu, kota yang tak menagih kenangan, kota yang membiarkanmu memulai dari titik nol. Barangkali, dalam otakmu yang setengah waras, kau percaya di jalan-jalan Solo, semesta akan membukakan pintu yang selama ini terkunci rapat. Sambil memandang kendaraan yang melintas, sebuah pikiran sekonyong-konyong lahir, seolah diturunkan dari papan reklame raksasa yang berdiri di pinggir jalan. Bagaimana jika hidup ini seperti sebuah perusahaan besar? Kita datang membawa map rapi berisi rencana, mimpi, dan strategi, lalu menyerahkannya kepada resepsionis yang tersenyum sambil berkata, āSilakan tunggu panggilan.ā
Dokumen itu lalu dipertimbangkan dan kita akan mendapat dukungan.
Andai sesederhana itu, ya?
Dua belas tahun lalu kau menikah tanpa dokumen semacam itu. Tanpa visi, tanpa target, bahkan tanpa garis besar masa depan, hanya satu anggapan bahwa pernikahan adalah tiket sekali jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat. Sepuluh tahun setelah ijab qobul semuanya runtuh. Yang tersisa hanya seorang anak. Di titik ini kau paham satu hal, bahwa punya anak bukanlah prestasi. Hampir semua makhluk yang memiliki alat kelamin bisa melakukannya. Semut, tikus, kecoa, manusia, semua beranak pinak. Mereka tinggal bersenggama, mereka mengandung, mereka melahirkan. Kau tidak menihilkan perjuangan mereka yang sulit punya anak, tidak. Tapi mari lihat kenyataan: berapa jumlah manusia di bumi? Berapa anak lahir dalam sukacita? Berapa yang ditelantarkan? Jadi, ketika orang berkata, āBeruntunglah punya anak,ā kau ingin bertanya balik, āApakah setiap orang tua mampu mengurus anak mereka dengan baik?ā
Dan hidup, tentu saja, tak pernah peduli pada teorimu. Bumi selalu berputar dan peristiwa demi peristiwa tetap mengalir dengan lakonnya masing-masing, seperti mantan suamimu yang menikahi selingkuhannya. Ia tak pernah datang mengunjungi anaknya. Ia tak pernah menafkahinya. Tragis? Tidak juga. Mungkin ia lupa punya anak. Kau pun belajar untuk lupa pernah punya suami, sampai suatu hari, tanpa sengaja, kau membuka daftar blokir di WhatsApp dan melihat foto anakmu terpampang di profilnya. Sejenak hatimu bergetar. Kesal? Barangkali. Kemudian kau ingat perilaku semacam itu sudah akrab sekali bagimu, seperti napas bau yang selalu kau hirup di rumah lama. Bukankah kau pun menulis cerita alegoris tentang siluman rubah? Sekarang kau tersenyum miringāsebab tokoh itu memang tetap ada.
Sebenarnya, pengkhianatan hanya menunjukkan bahwa ia manusia, sama sepertimu. Penyelewengan adalah satu keniscayaan, bukti sederhana bahwasannya manusia, pada dasarnya biasa saja, meski dulu sempat kau puja setengah mampus. Bagaimana lagi? Tadinya kau takut kalau-kalau akan menjadi perawan tua tak laku. Maka betapa kehadiran lelaki itu pernah menjadi berkah bagi hidupmu. Kau pernah menatap wajahnya dengan keyakinan bahwa ia adalah jawaban. Kau pernah mencuci pakaiannya sambil menggumam, āinilah takdir terbaikku.ā Kau pernah menelan amarah demi harmoni semu dan berpikir, ini demi masa depan. Lucu sekali, sekarang kau bahkan tak sudi melihatnya lagi. Seumur hidup.
Maka ketika pikiran tentang proposal hidup itu datang, kau tertawa kecil. Andai saja dulu kau punya map itu. Andai saja kau tahu cara membuat rencana, mendaki mimpi, dan menyusun strategi agar hidup lebih terarah. Mungkin hidupmu tak akan seacak ini, tak akan pernah tersesat sejauh ini. Sebab tanpa kerangka yang jelas, hidup mudah sekali goyah, dan kau sudah kenyang dengan kegoyahan itu.
Kau menulis proposal ini dari titik paling sunyi dalam hidupmuāsetelah perceraian, kehilangan tempat tinggal, kehilangan waktu bersama dengan anak. Ini bukanlah rengekan perempuan teraniaya, bukan, kau sadar sepenuhnya bahwa kaulah yang memegang kendali hidupmu, termasuk keberuntungan maupun kemalangan yang menimpamu. Ini adalah upaya untuk menyusun hidup secara sadar, agar kau tidaklah lagi berjalan dengan dendam dan amarah, melainkan dengan arah.
Di kampung kelahiranmu, perempuan yang menjadi janda telah ditetapkan jalannya. Entah menjadi pekerja migran, menikah lagi, atau menetap dalam pengawasan keluarga besar. Kau memilih jalan keempat yang tak dikenal, tak diajarkan, dan tak dirancang untukmu.
Bagi orang sepertimu yang selalu gentar berhadapan dengan manusia, maka perceraianmu yang menjadi peristiwa publik menghantam jiwamu sampai hancur. Bukan pada perceraiannya atau perselingkuhan yang mewarnainya, tapi pada bagaimana kau dilempar ke tengah gelanggang untuk diadili masyarakat dengan label āmurtadā yang disematkan di keningmu. Lelaki ituābeserta wanitanyaātetap baik-baik saja. Tetap nampak saleh, tetap terhormat.
Kau menyusun kembali hidupmu dari puing-puing yang kau kumpulkan sendiri. Kau bekerja, membesarkan anak, dan menulis.
Anakmu mengaji di TPQ milik keluarga mantan suamimu. Ia meraih juara satu. Sebenarnya, bukan itu yang ingin kau sampaikan. Ia dulu tidak masuk TK sebab betapa hina papanya hidupmu saat itu, tak ada uang untuk biaya pendaftaran, apalagi seragam dan sepatu. Maka kau mengajarinya sendiri. Membaca, menulis, berhitung, dan mengajiāsemua melalui dongeng setiap malam. Kau kisahkan padanya kelinci yang mengeja huruf abjad, juga kesaktian tongkat Nabi Musa yang membelah laut merah, Arjuna yang berdiri bimbang di medan Kurukshetra, sementara Krishna, dengan senyum yang menenangkan, memegang tali kuda sebagai sais kereta perang. Kau bawa ia berlayar bersama bajak laut, merasakan angin asin di wajah dan bau mesiu dari meriam kapal yang berkarat. Kau tutup malam dengan kisah orang-orang jauh: Pahom yang berlari sampai ke ujung padang rumput demi sepetak tanah lagi, dan Oliver Twist yang lapar di jalan-jalan London, menggenggam mangkuk sup, menunggu kemurahan hati yang jarang datang.
Di tempatmu berasal, status janda saja sudah cukup untuk mencabut hak seorang perempuan untuk bersuara dan memilih. Terlebih jika ia ditalak seorang ustaz, dituduh murtad, dan mendidik anaknya sendiri dengan cara-cara yang tak lazim di lingkungannya. Apa pun yang kau lakukan setelah ituātermasuk mendongeng sebelum tidur atau membaca kisah klasik duniaādipandang bukan sebagai kasih sayang, melainkan kesesatan yang halus. Perempuan sepertimu tak diberi ruang untuk menentukan apa-apa, bahkan dalam reruntuhan yang sudah ditinggalkan suaminya. Maka, satu-satunya cara yang kau tahu untuk memelihara kehidupan adalah dengan menulis proposal.
Judul: Selamatkan Diri dan Anak.
Visi: Hidup merdeka bersama anak.
Misi: Menjual kata-kata sampai bisa membeli rumah.
Strategi: Menulis sampai daki menjadi emas. Menjadi ibu sekaligus ayah, meski dua peran ini tidak diatur dalam undang-undang.
Kedengarannya konyol? Memang. Tapi ini lebih waras daripada menangisi mantan sampai gila.
Latar Belakang: Pernah gagal jadi istri. Jangan gagal jadi ibu. Hidup adalah proyek besar yang sedang bangkrut.
Modal awal: Nekat.
Hasil akhir: Anak tumbuh bahagia. Maka menafkahinya saja tak cukup. Saya harus mengasuhnya sendiri.
Analisis SWOT:
Strength: Tahan banting, tahan lapar, tahan miskin. Sekarang amit-amit!
Weakness: Mudah baper. Defisit emosi dan finansial.
Opportunity: Lomba cerpen berhadiah lima belas juta lima ratus lima puluh ribu rupiah.
Threat: Angan-angan menjadi kaya tanpa bekerja.
Penutup dan Pernyataan Diri: Saya tidak mencari kemenangan yang membuat orang lain kalah. Saya bahkan tidak ingin berkompetisi dengan siapa pun. Hidup saya mungkin tampak seperti perlawanan, sebab saya membangkang dari norma dan tradisi turun-temurun, tapi saya menolak menjadi musuh bagi siapa punātermasuk terhadap masa lalu saya sendiri. Apa pun yang saya tulis, saya tulis agar tetap waras. Jika tidak, saya mungkin akan kehilangan akal. Menari telanjang di pinggir jalan. Memungut remah nasi dari tong sampah. Siapa tahu? Saat ini, dengan dada sesak dan jeritan yang tertahan di kerongkongan sebab merindukan anak, saya membayangkan sebuah rumah kecil. Ada pohon mangga berdaun rindang di halaman depan, ada kebun cabai serta tomat di halaman belakang. Tak perlu luas. Yang penting ada tanah untuk menanam. Setiap sore, saya berdiri di sana tanpa alas kaki, menyentuh bumi, menyentuh hidup, melihat tomat-tomat kecil berwarna merah menyala di sela dedaunan. Saya ingin tahu rasanya memanen sesuatu dari kesabaran.
Saya berpijak pada kebebasan batin yang tidak perlu dipertontonkan, keadilan terhadap diri sendiri sebelum menuntutnya dari dunia, dan cinta sebagai kekuatan yang tidak membelenggu, tapi memerdekakan. Saya ingin menjadi ibu yang memeluk, bukan menggenggam, yang menjaga tanpa mencengkram, yang mengizinkan anaknya menjadi orang yang utuhābukan versi kecil dari dirinya sendiri. Ini kehendak saya akan hidup. Saya hanya punya luka dan tulisan yang menjadi jalannya.
Selesai.
Keinginan sederhanamu, untuk hanya hidup berdua bersama anakmu, di tempat yang jauh, tak bisa diterima oleh orang tuamu, kerabatmu, dan semua orang di sekitarmu. Perempuan perlu pelindung, katanya. Perempuan harus bersuami. Sementara kata suami, bagimu, mengingatkanmu pada tahun-tahun hidup lapar, pada kepala pusing membagi uang sepuluh ribu untuk seminggu, pada daster bolong yang tak sanggup kau ganti, pada rambut yang kau jambaki sendiri, pada air mata yang mengalir sepanjang malam.
Mereka tak mengijinkanmu membawa anakmu, tapi mereka senang ketika kau pergi jauh demi gaji bulanan yang rutin kau kirim.
Kau pikir, mungkin, di masa depan, kau akan tersenyum membaca ini, menganggap dirimu yang sekarangāpergi ke kota asing, kota yang jauh, hanya untuk menjadi pengangguran dan menulis proposal hidupābegitu nekat, atau begitu bodoh.
Satu hal yang kau tahu hari ini, bahwa kau tidak bisa menunggu hidup menawarimu meja perundingan, sebab hidup tidak pernah memberi kita pena untuk menulis klausul ulang. Hidup adalah kontrak yang disodorkan begitu saja, tanpa opsi baca dulu. Dan kau, akhirnya, memutuskan menulis proposal tandingan, bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada dirimu sendiri yang jauh di depan sanaādirimu yang mungkin sudah lupa rasa lapar, rasa takut, rasa ingin mati.
Kau menuliskannya agar kelak, saat usiamu empat puluh delapan, kau masih mengingat satu hal, bahwa segala yang kau tinggalkan hari ini bukan karena kalah, bukan karena menyerah, tapi karena kau memilih tetap setia kepada satu janji. Tidak mati sebelum menjadi dirimu sendiri.
Kau imajinasikan dirimu di sana, di masa depan, sudah memiliki apa yang hari ini tampak mustahil. Rumah minimalis dengan meja kerja menghadap jendela besar, tumpukan buku, berdampingan dengan meja belajar anakmu yang dipenuhi rakitan lego.
Oh, anakmuā¦
Alasan sekaligus jawaban. Ia satu-satunya yang menatapmu dengan penerimaan utuh, yang menaruh hidupnya di telapak tanganmu tanpa perjanjian dan syarat-syarat, yang memanggilmu ibuāpanggilan yang selalu mengembalikanmu pulang ke dirimu sendiriādengan suara yang tidak pernah berubah nadanya, meskipun kadang kau hilang kesabaran, meskipun kau berkali-kali jatuh.
Anakmu, napas dari berlembar-lembar puisi, prosa, dan juga catatan yang kau tulis, pegangan dari segala keberanianmu, tujuan dari panjangnya pengembaraanmu. Maka biarlah ia menjadi saksi bahwa hari ini kau memilih jalan sukar agar ia tidak harus menapakinya.
Kau bayangkan di masa depan, kau dan anakmu duduk bersama di sebuah kafe di kota yang belum pernah kau pijak, menertawakan bagaimana kau menjejali pikirannya dengan dongeng-dongeng magis supaya ia tidak minta jajan, tidak minta mainan, tidak minta sepeda, sebab uang di dalam lemari tinggal koin lima ratus sementara token listrik menjerit dan gas di dapur sudah habis. Kau dan anakmu akan mengingat hari-hari yang seperti medan perang ini sebagai lelucon, atau sesuatu yang nyaris puitis. Saat itu tiba, kau akan tahu, semua yang telah kau jalani bukan sia-sia. Dan karena hari itu belum tiba, maka kau menulis proposal hidup.
Satu kesintingan terakhir kau lakukan malam ini, menulis surat untuk ulang tahunmu sepuluh tahun lagi. Surat itu berisi kehidupan idealmu manakala kau berhasil menyusun ulang takdir dengan tanganmu sendiri. Selembar surat itu kau lipat rapi, lalu kau masukkan ke dalam amplop kecil dengan sampul bertuliskan: Untuk dibuka pada tanggal 13 Agustus 2035.
Di kepalamu, suara anakmu bergema, āIbu, kita akan tinggal bersama lagi, kan? Ibu sudah punya uang banyak buat beli rumah?ā
Kau tersenyum getir, ingin berkata iya, tapi kata iya terlalu mahal sebab yang kau genggam hanyalah angan-angan.
šæ