Ke Mana Lagi Kuajukan Naskah Perempuan Gila?
~ Catatan ini bukan sekadar surat untuk agensi yang tak pernah saya kirimi, tapi surat untuk diri saya sendiri.
Perihal: Pengajuan Naskah “Perempuan Gila di Persimpangan”
Yth. Tim Agensi Entah Siapa dan Tak Tahu Di Mana
Satu malam saya berpikir bahwa novel Perempuan Gila di Persimpangan serupa dengan To Kill a Mockingbird karya Harper Lee. Bukan pada novel itu sendiri, tapi pada kenyataan bahwa Harper Lee hanya menulis satu novel itu saja sepanjang hidupnya sebelum akhirnya novel kedua, Go Set a Watchman ditemukan dan naik cetak.
Perempuan Gila di Persimpangan, dengan jumlah sekitar dua puluh lima ribu kata, merupakan fragmen dari 37 tahun kehidupan yang saya jalani, dan saya tidak memiliki dorongan untuk menulis novel lain, kecuali 10 atau 15 tahun kemudian setelah anak saya dewasa. Kehidupan seperti apa yang akan saya jalani sejak akhir usia tiga puluhan? Apakah dunia masih tetap seperti 37 tahun yang lalu? Saya perlu mengalaminya dulu untuk bisa menuliskannya.
Setelah saya mengirimkan naskah “Perempuan Gila di Persimpangan” dalam ajang sayembara, sering saya merasa bahwa novel saya akan keluar sebagai juara pertama—kenyataannya bahkan tidak masuk daftar lima belas besar. Saya berangan-angan lebih tinggi lagi, bahwa novel saya diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan menjadi best seller di banyak negara. Mengkhayal memang menyenangkan dan sungguh tak tahu diri.
Untuk menambah kesenangan, saya menuliskan ringkasan novel seperti berikut ini:
STRUKTUR RINGKASAN NOVEL
1. Judul dan genre
Judul novel : Perempuan Gila di Persimpangan Genre : Autofiction with spiritual realism
2. Jumlah kata dan waktu pengerjaan
Karya ini memiliki panjang 25.000 kata. Ditulis intensif selama empat bulan (Maret–Juni 2025), tetapi merupakan buah dari proses penulisan dan pembongkaran ulang selama lima tahun. Materi utama berasal dari pengalaman hidup saya sendiri selama 37 tahun.
3. Premis utama
Sebuah novel reflektif tentang seorang perempuan terbuang yang menggali reruntuhan hidupnya melalui catatan. Ia selamat dari kehancuran lalu menafsir ulang makna hidup di tengah reruntuhan itu dan menulis takdirnya dengan bahasa sendiri.
4. Latar dan tokoh utama
Novel ini berlatar di Indonesia tanpa menyebutkan kota khusus. Sebuah ruang sosial yang patriarkal dan religius secara simbolik. Waktu di dalam novel pun cair, nyaris mitologis, meski sesekali membocorkan kenyataan—seperti pandemi corona dan kemiskinan struktural.
Latar ini tidak dirancang untuk menciptakan dunia yang “nyata” seperti dalam realisme konvensional, melainkan untuk menghadirkan ruang batin, tempat pengalaman perempuan dirajut sebagai ritus penyembuhan.
Dunia dalam novel ini bukan sekadar latar, melainkan medan spiritual.
Tokoh Utama:
Sosok “Aku” adalah seorang perempuan miskin, lapar, buruk rupa, tumbuh dalam keluarga tak ramah dan dunia yang menyuruhnya diam. Namanya tak disebut—karena ia bisa siapa saja, mewakili perempuan-perempuan biasa yang menolak mati di bawah reruntuhan sistem.
5. Alur emosional dan konflik spiritual
Novel ini bergerak dalam bentuk fragmen—catatan reflektif seorang perempuan yang terus berbicara pada dirinya sendiri dan pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya, entah itu Tuhan, semesta, atau sekadar ruang sunyi di dalam batin.
Alur emosionalnya seperti lingkaran yang terus memutar: dari rasa malu menjadi murka, dari murka menjadi putus asa, dari putus asa menjadi kehampaan, lalu keheningan yang memberi jarak, dan akhirnya menuju pengampunan—bukan dari luar, tapi dari dalam.
Konflik utamanya adalah konflik batin, bukan sekadar tentang perceraian atau kemiskinan, melainkan tentang jalan hidup yang dipilih dengan kesadaran tanpa fondasi doktrinal, tentang pencarian bentuk keber-Tuhanan yang lebih personal, bukan institusional.
Setiap bab adalah sebuah guncangan spiritual kecil, di mana ia terus-menerus diam dan mendengar pertanyaan-pertanyaan besar yang muncul dalam pikirannya sendiri, yang hanya bisa dijawab oleh keberanian menatap segenap luka dan tinggal di dalamnya.
6. Nilai yang ditawarkan
Untuk pembaca lokal (Indonesia):
Novel ini adalah cermin—yang jujur dan kasar—bagi perempuan Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang norma dan dogma, kemiskinan struktural, juga luka turun-temurun yang diwariskan tanpa sadar.
Ia menggugat tanpa amarah, memberi bahasa untuk rasa yang selama ini dipendam: rasa malu jadi perempuan miskin, rasa takut jadi ibu yang gagal, rasa kehilangan Tuhan ketika institusi keagamaan justru ikut menghakimi.
Lebih dari itu, novel ini memberi ruang pada pembaca lokal—perempuan dan laki-laki—untuk menyaksikan kesalehan yang sengaja dipertontonkan, lalu dijadikan alat memanipulasi pandangan masyarakat. Di sisi lain, ada keyakinan yang lahir dari keheningan tak bernama, bahwa iman bisa tumbuh bukan dari ketaatan semata, tapi dari luka dan kesalahan yang diterima dengan jujur. Ia tidak menawarkan jawaban tentang benar dan salah, tapi membuka ruang sunyi tempat manusia berani melihat dirinya sendiri.
Untuk pembaca internasional:
Novel ini adalah kisah spiritual seorang perempuan di dunia Muslim, tanpa harus tunduk pada stereotipe yang umum ditempelkan pada perempuan Muslim dalam narasi Barat.
Ia tidak meminta pembebasan dari luar. Ia membebaskan dengan caranya sendiri. Gaya naratif yang fragmentaris, puitis, dan meditatif selaras dengan nilai-nilai universal terutama menyangkut kerapuhan manusia yang mencari makna, dan kebangkitan yang tidak ditandai kemenangan, tetapi oleh keheningan yang diterima. Ia adalah buku yang tak menjual penderitaan, tapi menyusun ulang puing-puingnya menjadi tempat jiwa bertumbuh.
7. Kenapa novel ini penting hari ini?
Di dunia yang bising oleh narasi tentang pertarungan antara benar dan salah, menang dan kalah, sukses dan gagal, serta pertobatan instan, novel ini menyajikan sesuatu yang langka: keheningan sebagai bentuk penyembuhan. Di tengah dunia Muslim, perempuan masih mencari keseimbangan antara mendengar suara jiwanya sendiri dan menjawab panggilan yang dianggap suci oleh orang lain
Novel ini tidak berkhotbah. Tidak menjanjikan jawaban. Ia hanya duduk dan bercerita, bagaimana seorang perempuan berusaha menyelamatkan dirinya sendiri melalui mimpi-mimpi yang nyaris absurd, lalu belajar menjadi seorang ibu yang ingin mencintai anaknya setelah kehilangan dirinya sendiri.
Hari ini, dunia sedang jenuh dengan kebisingan. Novel ini penting karena ia menawarkan jalan sunyi, tempat pembaca bisa kembali mendengar diri mereka sendiri.
8. Kutipan pendek dari novel yang menjadi kunci jiwa cerita.
“Di alam bebas, kau bisa mati. Di dalam kandang, kau juga mati. Apakah kau—dan juga aku—bisa menjalani hidup yang kita pilih sendiri?”
9. Kesimpulan Akhir
Perempuan Gila di Persimpangan adalah novel autofiksi dengan sentuhan spiritual realism. Ia lahir dari puisi, berkembang menjadi fragmen-fragmen catatan batin, seperti potongan kaca yang memantulkan satu wajah dari sudut berbeda. Ada monolog untuk anak yang jauh. Ada mimpi-mimpi yang lebih nyata dari kenyataan. Ada percakapan batin yang kadang terdengar seperti doa, kadang seperti gugatan.
Satu kata terus berulang, mengikat semuanya: lapar. Lapar perut. Lapar buku—di negeri yang tak murah untuk pengetahuan. Lapar akan Tuhan, ketika agama hanya menjadi senjata untuk menghakimi. Lapar akan hidup yang sederhana: menulis, membaca, mengurus anak, tanpa harus tunduk pada siapa pun.
Perempuan Gila di Persimpangan adalah novel tentang kehilangan dan keinginan, keberanian untuk pergi ketika semua orang menyuruh tinggal, juga luka-luka yang tak membusuk karena terus bergerak.
~ Saya tidak tahu ke mana naskah ini akan berlabuh. Tapi saya tahu betul bahwa ia akan menemukan jalannya sendiri, seperti si perempuan yang akhirnya memilih untuk tetap berjalan.
🌿