Alang-Alang

Lorong Kesadaran - 01

Apakah mimpi hanyalah sampah otak? Atau kode rahasia tentang siapa aku, dari mana aku berasal, dan ke mana aku harus kembali?

Ia menghapus semua akun media sosial. Tidak ada lagi notifikasi, tidak ada lagi ruang maya yang ramai memamerkan kebahagiaan dengan caption yang terasa asing. Ia pernah mencoba bertahan di sana, bahkan membuat akun ketika novelnya naik cetak, sebab katanya, penulis harus hadir di dunia itu. Ia unggah satu postingan lalu kembali hening. Ia tidak pernah memotret makan siang, tidak pernah memamerkan perjalanan, tidak pernah menampilkan senyum dengan filter. Akun-akun itu hanya ia gunakan untuk mengintip dunia, dan dunia, baginya, selalu sama: berisik.

Kini semuanya telah dihapus. Selesai. Sunyi menemukan jalannya lagi.

Pilihan untuk menghapus bukan yang pertama. Ia terbiasa menyingkirkan apa yang tidak menyisakan tempat dalam hidupnya. Ketika pakaian baru datang maka yang lama pergi. Ia bahkan rela memberikan buku-buku—benda yang selama ini ia anggap satu-satunya kekayaan—sebab tak suka melihat tumpukan.

Kemeja kerja ketika ia masih gadis sebagian tetap ia simpan saat menikah, meski selama sepuluh tahun tak pernah ia pakai. Ada ruang kosong di lemari, jadi ia biarkan saja. Rupanya sepuluh tahun kemudian, setelah pernikahanya runtuh dan ia kembali bekerja, ia mengenakan kemeja itu lagi. Waktu telah mencuri banyak hal, tapi tidak dengan bentuk tubuhnya, dan kemeja itu seakan menjadi saksi bahwa sesuatu bisa kembali, meski dalam hidup lebih banyak yang pergi.

Foto-foto? Ia pun tak punya. Setiap kali rekan kerja mengabadikan momen, ia lihat sebentar lalu hapus. Ia pernah memandangi foto pernikahannya, lalu menyobeknya, membakarnya, dan menatap abu itu beterbangan. Tidak ada ruang untuk masa lalu. Baginya yang berlalu harus benar-benar berlalu.

Ia hidup seperti itu, memilih yang sedikit, menyingkirkan yang tak perlu, menolak tumpukan yang hanya menambah sesak, sebab pikirnya kebebasan bukanlah soal memiliki lebih, tapi soal berani melepas. Semakin sedikit yang ia genggam, semakin luas ruang untuk bernapas. Dan mungkin, semakin sunyi hidup, semakin terdengar suara hati sendiri.

Namun, ada satu gudang yang tak bisa ia bersihkan: kepalanya. Ia telah memangkas barang-barang hingga muat dalam satu ransel. Tetapi mimpi? Tidak pernah. Di sana, masa lalu masih berkeliaran seperti algoritma yang tak bisa diblokir.

Ia bermimpi tentang tubuhnya sendiri, tentang luka dan peristiwa yang terjadi mendahului pergerakan realitas. Misalnya, sejak remaja, ia rutin bermimpi haid setiap bulan, beberapa hari sebelum darah benar-benar keluar.

Dunia mimpi baginya lebih setia daripada dunia nyata. Tubuhnya menitipkan pesan lewat mimpi, seolah di sana takdir lebih terang daripada kehidupan di sini. Ia pikir, bukankah ini lebih canggih dari kalender ovulasi di ponsel, dan jauh lebih jujur ketimbang linimasa media sosial?

Selain mimpi, satu bagian khusus dari tubuhnya—kedutan mata—juga berbicara dengan cara yang tidak diajarkan di sekolah, menyampaikan semacam bahasa rahasia, memberi kabar tentang realitas yang akan terjadi. Jika kelopak kiri bergetar, ia tahu akan ada rejeki datang—uang, makanan, atau hadiah tak terduga. Jika kanan yang bergetar, ia tahu akan menangis. Ia mengenali pola yang menempel di kulitnya. Dari kecil sampai sekarang, kedutan—atau mungkin ramalan—tentang dirinya tak pernah salah.

Kalau mimpi dan juga getaran tubuh bisa mengetahui masa depan, mungkinkah mimpi juga tahu rahasia kematian?

Malam tadi ia bermimpi mantan suaminya menusukkan pisau ke punggungnya. Mimpi tentang lelaki itu macam serial yang tak kunjung tamat, seolah kesadaran bawah tanah sedang mengulang adegan lama agar ia benar-benar mengosongkan gudang kenangan. Ia terbangun dengan hentakan di punggung, ada sensasi besi yang masih menancap, terasa begitu nyatanya pisau itu menghujam kulit dan dagingnya, terselip di antara tulangnya. Tidak sakit, hanya ada ingatan tajam—seperti saat perutnya diiris di meja operasi dulu, melahirkan bayi dengan tetap sadar. Ia merasakan pisau itu menyayat kulit, membuka jalan, merasakan tangan-tangan menghentak dan mengorek isi perut. Bedanya, mimpi semalam tidak melahirkan bayi. Hanya kesunyian. Tepat ketika ajalnya hampir melayang akibat tusukan pisau di punggung, ia terbangun.

Ia berkali-kali pernah mati di sana, di dunia mimpi. Ditikam, terjatuh, kehabisan napas—dan selalu, kesadarannya mengambang perlahan di batas antara mimpi dan realitas sampai akhirnya ia terbangun. Jadi, jika mati di dunia mimpi berarti bangun di dunia ini, bagaimana kalau mati di sini hanyalah bangun di sana? Bagaimana kalau semua yang ia jalani sekarang hanyalah mimpi panjang yang belum selesai? Dan kalau benar begitu, siapakah yang sedang bermimpi?

Apakah aku—ya, aku, atau sesuatu yang lebih besar dariku sedang memimpikan hidupku? Apakah aku bagian dari dirinya—atau ia yang bermimpi melalui mataku? Dan kalau semua ini hanya ilusi panjang, apa arti semua luka, semua kehilangan, semua cinta yang pernah kubela mati-matian? Untuk apa berpayah-payah hidup jika di dunia yang lain, aku akan bangun dan berkata, “Ah, jadi ini hanya mimpi.”

Tetapi kalau begitu, apakah ia juga akan melupakan anaknya seperti ia melupakan semua yang terjadi di dalam tidur? Ataukah di dunia sana, ia akan mengingatnya, merindukannya, mencari wajahnya di setiap cahaya yang ia temui?

Ia tidak tahu, kecuali satu yang pasti bahwa setiap kali pisau menembus tubuhnya di mimpi, ia sadar bahwa mati tidak sepenuhnya mengakhiri, hanya memindahkan. Seperti pintu yang dibuka menuju ruangan lain.

Mungkin hidup ini memang lorong panjang yang hanya bisa ditemukan ujungnya di dalam mimpi. Dan di ujung itu, entah siapa yang akan menunggu: dirinya yang lain, atau hanya sunyi yang lebih dalam.

🌿