Alang-Alang

Lorong Kesadaran - 02

Jika kita mati di dunia mimpi dan mendapati diri kita terbangun di dunia ini, apakah itu berarti kematian di dunia ini hanyalah bangun tidur di dunia yang lain?

Pada satu Kamis dini hari pukul tiga, ketika deras hujan mengguyur atap rumah, ia berbaring lama hanya untuk memikirkan: semua kehidupan adalah mimpi. Meski demikian, kewajiban moral tidak luntur. Penderitaan yang ia singkap dalam satu dunia tetap memanggil tindakan dalam dunia lain. Lantas, ia menimbang-nimbang, apa sebenarnya peranan dari kehidupan-kehidupan itu jika sebatas mimpi-mimpi?

Ia sudah mati berkali-kali dalam mimpi, dan semuanya berakhir dengan sebuah hentakan untuk bangun, seolah tiba-tiba, lalu menatap cahaya pagi di sudut mata. Ia mengalami bahwa mati hanyalah pintu lain menuju kehidupan lain, kehidupan yang sebenarnya sama, kehidupan dengan matahari terbit dan terbenam, kehidupan yang butuh makan dan tidur, kehidupan yang menjalin hubungan keluarga dan pertemanan.

Pada satu mimpi ia menjalani 72 tahun kehidupan. Pada mimpi lain ia hidup sampai usia 55. Saat ini umurnya 38, dan ia merasa jauh lebih tua. Kantung mata dan keriput di pipinya menyiratkan kelelahan, seperti orang yang telah melakukan perjalanan jauh, seperti telah berkali-kali menjalani seluruh kehidupan: tumbuh, menua, mati—lalu terbangun dalam kenyataan hidup yang lain. Maka, siapa yang bisa memastikan kematian di sini bukan pintu ke kehidupan lain? Dan barangkali, semua orang di sini pun hanyalah figuran dalam tidur panjang yang tak pernah ia pilih.

Lantas, mungkinkah itu berarti ada banyak kehidupan, kenyataan, atau sebutlah dunia, dan setiap dari kita menjalani kehidupan di semua kenyataan dan dunia itu? Jika semua kehidupan dan dunia yang banyak itu rupanya hanya mimpi, apakah itu berarti ada satu identitas tunggal yang memimpikan semuanya?

Bagaimana rasanya mati dalam mimpi?

Tidak sakit. Tidak gelap. Tidak ada kehilangan. Di tepi ajal, rasanya seperti berjalan melewati pintu yang sudah dikenal. Ada kelegaan, seolah segalanya usai, seolah tak ada lagi yang perlu. Ia merasakan pergeseran yang halus, seperti melangkah dari sore ke malam. Lalu hentakan. Lalu dunia yang sama. Dunia yang lagi-lagi menuntut makan, minum, bercakap, dan berjanji akan hidup yang lebih baik. Hidup yang menuntut kerja keras dan kelelahan yang diyakini sebagai tindakan moral luhur dan mulia, meski senantiasa menyisakan kebohongan kecil yang disimpan rapat-rapat supaya tidak panik menghadapi ketidakpastian serta kekosongan.

Selama perpindahan dari satu dunia mimpi ke dunia realitas, atau sebaliknya, ia tidak mengalami kegelapan. Tidak ada “akhir.” Yang ada hanyalah perpindahan kesadaran, seolah satu lilin padam, lilin lain sudah menyala. Maka ia bertanya: kalau kematian hanyalah bangun, lalu kapan ia benar-benar tidur? Atau jangan-jangan ia tak pernah terjaga?

Apakah ada satu “aku” yang tetap di semua mimpi dan kehidupan? Aku yang bermimpi tentang diriku? Atau “aku” hanyalah bayangan yang lahir dan mati di setiap dunia?

Jika benar ada satu diri yang memimpikan semua kehidupan, siapa dia? Apakah ia duduk tenang di satu ruang, menciptakan segala suka dan duka demi menonton dirinya sendiri memainkan peran? Ataukah ia pun tertidur, terjebak di dalam mimpi yang lebih besar, dan entah kapan akan terbangun?

Kalau begitu, kematian bukanlah musibah, melainkan jeda napas dari mimpi yang tak pernah selesai. Semuanya mimpi. Tidak ada satu realitas tunggal. Kamar ini nyata baginya lantaran ia bisa menginjak lantainya, bisa meraba dindingnya, bisa menatap silau lampunya, sementara keberadaan tempat lain tertinggal hanya di dalam pikirannya.

Maka barangkali, setiap kematian hanyalah pintu yang berderit pelan, mengantarkannya menuju lorong yang sama gelapnya dengan lorong sebelumnya, hingga akhirnya ia sampai di pintu terakhir. Namun, barangkali juga, tak pernah ada pintu terakhir, hanya labirin berbentuk spiral, dan kita menamai masing-masing kamar dengan kata yang paling menenangkan: hidup.