Alang-Alang

Lorong Kesadaran - 03

Lorong Kesadaran - 01
Lorong Kesadaran - 02

Sebelum matanya terpejam, di batas kesadaran antara terjaga dan tidur, pikirannya telah mendahului masuk ke dunia mimpi. Ia tidak melihat kegelapan. Perpindahan itu terjadi begitu saja, tanpa jeda. Dunia mimpi yang telah ia masuki terasa realitas, sementara dunia nyata di mana tubuhnya berbaring hanyalah mimpi lain yang perlahan memudar. Ia bisa merasakan keberadaan keduanya sekaligus, sampai-sampai bisa mendengar suara dengkur sendiri.

Hubungannya dengan dunia mimpi terasa khusus. Tak pernah sekalipun ia tidur tanpa bermimpi.

Ketika ia nampak melamun, pikirannya bekerja menata ulang sejarah hidupnya, mengubah nasib tokoh-tokoh yang lahir di kepalanya.

Suatu ketika di sekolah terjadi kesurupan massal, dan ia tidak terseret bersama mereka. Ia tak pernah sekalipun mengalami hal-hal mistis semacam itu, padahal ia yang paling sering diam, sering melamun, sering bermain sendirian di hutan dan kuburan.

Sewaktu kecil, di bulan Ramadan, setiap kali mengikuti salat tarawih, ia membayangkan serial petualangan di mana ia menjadi pemeran utama. Ia reka setiap detail adegan, tempat, juga jalan cerita. Satu malam satu episode. Hal itulah yang membuatnya tuntas melaksanakan 23 rakaat tanpa mengantuk, tanpa tergoda untuk berlari meninggalkan surau sebagaimana anak-anak lain.

Berbeda dengan kebanyakan orang yang percaya bahwa dunia ini ramai oleh makhluk tak kasat mata, ia merasa hidup di lorong berbeda—lorong yang tak memberi ruang bagi bayangan. Di lorong itu hanya ada ia dan ratusan dirinya di dunia-dunia lain, di mana waktu bukan garis lurus, melainkan kain yang bisa diremas dalam genggaman. Ia bisa bertemu siapa saja di sana—orang-orang yang telah lama terkubur dalam tanah, dan mereka masih hidup, masih tetap manusia. Dalam satu mimpi ia makan bersama neneknya yang masih muda, lalu berbincang lagi dengan nenek yang sama dalam wujud renta. Semua dalam satu malam. Di sana usia hanyalah busana—bisa dikenakan dan dilepas sesuka hati, sebagaimana identitas.

Ia bukan hanya menjadi dirinya di mimpi-mimpi itu. Sering kali ia menjelma perempuan lain, dengan nama dan jalan hidup berbeda. Seperti hukum kehidupan, di sana pun ia menua dan mati. Ia bangun dengan napas asing di dada, membawa jejak dari sana: aroma, rasa, kadang seluruh kesadaran yang menolak pergi—seperti kulit yang belum sepenuhnya menempel pada tubuh.

Pada malam ke-51 di kota yang jauh dari masa lalunya—sebenarnya kota tempat presiden lahir—ia mimpi bertemu beliau, lelaki yang wajah teduhnya begitu akrab di benak rakyat negeri ini, mengajarkan padanya cara memindahkan kesadaran. Beliau tak berbicara sepatah kata pun, hanya berdiri di kejauhan, tenang dan sederhana sebagaimana citra dirinya di dunia nyata. Sering kali, ketika mimpi bertemu tokoh, mereka tak pernah berbicara kepadanya—hanya hadir, seperti ketika ia mimpi bertemu Gabo, ia hanya melihat kumis putihnya yang bergerak-gerak. Pada mimpi lain bertemu Gusdur, ia juga hanya melihatnya tertawa, tapi ia memahami apa yang mereka sampaikan. Dari keheningan mimpi malam itu, ia telah memahami satu pelajaran: bahwa kesadaran dapat berpindah, sebagaimana manusia berpindah kota, bahwa realitas adalah tempat di mana kesadaran hadir penuh, sementara semua yang lain hanyalah ingatan dan bayangan.

Dulu sekali, tanpa sengaja, dalam kondisi kelaparan, di ambang putus asa dan kematian, ia pernah melewati multisemesta. Setelahnya, setiap percobaan yang ia lakukan tak pernah berhasil. Kesadarannya hanya bisa sampai pada tahap mengembang seluas bumi dan mengapung melewati atap rumah, itu pun sejak dua tahun lalu sulit sekali ia praktekkan.

Dalam mimpi, ia mencoba mempraktikkan pelajaran tersebut. Ia fokuskan kesadarannya pada jalan sejuk di perkebunan, dan seketika dinding kamar kos berganti pohon-pohon rindang. Pergantian itu terjadi perlahan tapi pasti—seolah dunia hanya bergeser sudut pandang. Tak ada kegelapan, tak ada mimpi yang pecah. Ia hanya berpindah. Tubuhnya merasakan dorongan halus, seperti hembusan udara dari dunia lain. Ia tahu raganya tetap berbaring di kamar kos, tapi di dunia lain, raganya yang lain sedang berjalan di bawah cahaya matahari yang lembut. Pagi hari saat terbangun, ia masih dapat menghidu aroma kayu manis.

Dalam perjalanan naik ojek menuju tempat kerja, ia menangis diam-diam. Ia merindukan anaknya. Ia pikir, untuk apa semua ini—mimpi-mimpi yang begitu terang, begitu nyata—jika pada akhirnya yang ia inginkan hanyalah hal paling sederhana di dunia: penghasilan yang cukup untuk membawa anaknya tinggal bersama. Semua hal-hal di luar itu, ia tidak peduli.

Sejak malam itu, ia mulai memperhatikan batas antara tidur dan terjaga dengan lebih saksama. Ada jeda tipis di sana—setipis napas yang menahan dirinya agar tidak sepenuhnya jatuh. Ia tahu bahwa mimpi bukan sekadar pengembaraan batin, melainkan ruang tempat kesadaran memantul, memeriksa dirinya sendiri.

Pagi-pagi, sebelum membuka mata, ia membiarkan tubuhnya diam di antara dua realitas itu: kamar kos yang dingin dan jalan perkebunan yang masih terbayang. Ia tak tahu lagi mana yang lebih nyata. Mungkin keduanya. Mungkin tidak ada yang benar-benar nyata—selain rasa rindu yang mengikatnya pada bumi, pada senyum dan tangan mungil anaknya.

Ia tidak lagi takut pada percampuran antara mimpi dan hidup. Ia hanya takut kehilangan makna dari keduanya.

Hari-hari berikutnya, setiap ia menutup mata, ia tahu satu hal pasti: kesadaran bisa berpindah, tapi tidak bisa lari. Ia bisa mengembara sejauh semesta, tapi di ujung semua perjalanan, ada satu titik kecil yang menunggu—titik yang memanggilnya pulang. Dan titik itu selalu kembali ke satu hal yang sama: wajah anaknya. Satu wajah paling penting bagi dirinya, satu wajah yang ingin ia temui setiap hari, setiap tempat, setiap mimpi, setiap realitas. Ia rela menukar semua mimpi-mimpi dengan satu wajah itu. Ia tak perlu menjelajah dan singgah di banyak dunia. Cukup satu dunia yang ingin benar-benar ia tinggali, dunia di mana seorang lelaki kecil memanggilnya ibu, dan ia tidak perlu berpindah lagi.

🌿