Lorong Kesadaran - 04
Lorong Kesadaran - 01
Lorong Kesadaran - 02
Lorong Kesadaran - 03
Ia menulis sebuah epos. Panjang, tebal, berlembar-lembar halaman, penuh berisi barisan huruf serupa prajurit perang. Setiap kata bagai batu yang dipahat, kokoh dan berat. Ia menulis sesuatu yang bertahan lebih lama jauh melampaui usianya.
Matahari mengiris kamar dengan garis tipis ketika ia terbangun, dan epos itu pun lenyap. Meski samar-samar, ia masih mengingat tokoh-tokohnya, jalan ceritanya, bahkan kalimat pembuka yang memukau. Ia menyalakannya lagi, kali ini di layar laptop. Jarinya berlari di atas keyboard seperti pasukan yang kembali ke medan perang. Selama enam hari, setiap malam, ia menulis dan terus menulis, berburu dengan ingatan tuanya yang hampir pudar. Ia pun sampai di akhir, membubuhkan catatan kaki, dan memastikan sekali lagi—dengan menelusuri mesin pencari google—bahwa cerita yang ditulisnya mengandung kebenaran mitologi. Ketika matanya menangkap angka 04:00 di sudut kanan bawah layar laptop, ia sontak terbangun.
Kesadarannya mengambang serupa daun kering di sungai. Alarm berbunyi. Tangannya meraba lantai, mengambil sesuatu, mengusap layar, lalu tertegun sejenak manakala melihat angka 04:00 di layar ponsel. Angka yang terasa akrab, seolah waktu sengaja berhenti di sana. Ia menatap plafon, lalu mengingat: dirinya, usianya, pekerjaannya, anaknya, dan segala yang belum selesai di dunia ini. Telapak tangan kosong. Tak ada laptop, tak ada buku, tak ada epos. Hanya napas dan waktu yang berputar tanpa ampun.
“Apakah aku masih bermimpi sekarang?”
Ia heran bagaimana mimpi-mimpi bisa terasa begitu nyata, bagaimana mimpi yang sama bisa terulang terus-menerus, dan bagaimana setiap kali ia bermimpi menulis buku, ia tidak pernah berhasil mengingat satu pun kalimatnya, tapi perasaan yang dialami tokohnya tetap bercokol dalam hatinya.
Sudah berkali-kali ia bermimpi menulis cerita. Setiap kali ia merasa hampir selesai, ia terbangun di dalam mimpi lain, menyadari bahwa dirinya belum juga bangun. Mimpi di dalam mimpi, lingkaran di dalam lingkaran.
Ia meletakkan ponsel di lantai, duduk diam di pinggir kasur, bersandar pada tembok kusam sambil memandang cahaya yang menembus tirai. Jika semua mimpi itu bisa ditukar, pikirnya, cukup satu hal saja. Ia tahu apa yang akan ia pilih: sebuah rumah kecil dengan dapur yang hangat di mana ia bisa mendengar suara anaknya memanggil ibu, setiap hari.
**
Sejak sekolah dasar ia selalu ditunjuk menjadi sekretaris kelas. Hal itu terjadi setiap tahun tanpa pernah absen. Tugasnya sederhana: menulis di papan tulis menggantikan guru. Saat itu masih papan hitam dengan kapur putih. Ia tidak tahu mengapa selalu dirinya yang dipilih. Mereka memang bilang bahwa tulisannya yang paling rapi, padahal ia hanya meniru tulisan guru—setiap tahun berubah, tergantung siapa yang mengajar. Tulisan kursif miring ke kanan, bersambung dan halus, sebagaimana di zaman itu orang mencintai keindahan bentuk. Ia menulis lurus, tanpa naik turun, seolah tangannya paham betul ke mana arah kata mesti pergi.
Sejak kecil ia juga memiliki satu kebiasaan: menulis di udara dengan jari telunjuk. Kadang lirik lagu, kadang puisi, kadang potongan cerita yang muncul tiba-tiba dalam pikiran. Tadinya ia mengira bahwa kebiasaannya menulis di udara dilakukannya lantaran bosan dan tidak ada yang mesti dilakukan. Tapi kini setelah dipikir ulang, ia melakukannya murni karena senang. Ada kenikmatan rahasia di sana, kenikmatan yang melebihi bermain dengan manusia. Ia menulis untuk mendengar suaranya sendiri.
Ketika dewasa dan mulai bekerja, kebiasaan itu mewujud dalam buku catatan. Ia menulis setiap malam, lalu menyobeknya begitu halaman terakhir penuh. Tulisan-tulisan itu seperti ritual penghabisan. Setiap kali satu buku berakhir, ia merasa telah membuang satu beban. Buku yang telah penuh ia robek, buang, kadang dibakar, seolah hanya dengan cara itu ia bisa menjaga rahasia tetap hidup, sebab tulisan yang telah lenyap tidak pernah benar-benar hilang.
Setelah menikah isi catatannya berubah menjadi rumah impian, sejumlah besar uang khayalan, serta keinginan sederhana untuk hidup tenang. Buku itu ia simpan di bawah lemari, di bawah kasur, kadang di atas rak piring, atau di mana pun, tersembunyi dari jangkauan mata suaminya. Semacam rahasia dalam rumah tangga. Sementara tulisan tentang keinginan hidup sejahtera menjadi rahasianya, suaminya merahasiakan utang-utang dan perempuan lain. Mereka datang padanya dalam rupa lelaki berjaket hitam yang berteriak memanggil-manggil di depan pintu. Rahasia memang selalu punya cara untuk menagih. Lalu berikutnya surat panggilan sidang perceraian. Dunianya dan dunia suaminya—dua jiwa rahasia yang tidak pernah bersinggungan—sama-sama terbakar di akhirnya.
Lain tempat lain pula caranya menulis. Setiap hari ia menyobek kalender harian yang menempel di dinding ruang kerjanya, tapi tidak pernah langsung membuangnya. Ia selalu mencoretnya dulu—nama sendiri, nama anak, atau satu kalimat pendek dan, baru setelahnya kertas tersebut ia buang. Ritual kecil untuk menandai keberadaan hari. Ritual kecil untuk memastikan bahwa waktu tetap meninggalkan jejak tangannya di atas kertas. Ritual kecil meski dunia di luar kendalinya, ia masih memiliki kendali atas imajinasinya, ya, meski sebatas imajinasinya.
🌿