Memulai Ulang Hidup
Apa yang Membuat Seseorang Nekat Memulai Ulang Hidupnya Tanpa Jaminan?
Hidup saya telah lama menjelma semacam kematian yang tertunda. Lima hari lagi usia saya genap tiga puluh delapan dan sebulan kemudian anak saya berusia sembilan. Dua angka yang terlampau jauh tapi saling bertaut di jalan nasib yang sama.
Berulang kali saya bertanya, apa yang benar-benar saya inginkan dalam sisa umur saya? Semakin dalam saya menyelam ke dalam pikiran saya sendiri, semakin jelas satu pertanyaan yang sebenarnya telah membayangi saya seumur hidup:
Apakah saya cukup berani—atau cukup nekat—untuk tetap berjalan sendiri demi pilihan yang saya kehendaki?
Saya melihat bagaimana orang-orang di sekitar saya bisa meninggalkan anak mereka dalam asuhan kakek-nenek. Bisa kawin lagi, bisa tetap bersenang-senang, bisa memarahi anak, bisa menyebutnya nakal, dan di waktu lain, membela mati-matian meski anak itu jelas salah.
Andai saya bisa begitu. Hidup barangkali terasa lebih ringan. Nyatanya saya tidak bisa begitu. Saya tidak bisa menyalahkan anak orang lain, tapi juga tidak sanggup menyebut anak saya sendiri nakal. Semua anak setara di mata saya. Tapi satu anak—anak saya—adalah tanggung jawab hidup saya.
Saya ingin menyederhanakan hidup saya. Kerja siang hari, makan sampai kenyang, tidur nyenyak delapan jam. Biarlah anak saya bersama kakek-neneknya, saya bisa membuka hati untuk hubungan baru, mengumpat sesekali, memaki-maki masa lalu, terutama mantan suami saya yang berengsek itu. Ah. Tidak. Ia tidak berengsek. Bila saya memandang diri saya lewat mata orang lain, maka benarlah saya yang tidak becus jadi istri, tidak bisa masak enak, juga tidak pandai melayani. Dan setiap manusia hanya mempertahankan apa yang ia yakini benar. Tapi kebenaran tak pernah tunggal. Lalu siapa yang bisa mengaku paling benar tanpa mencederai orang lain?
Saya sudah terlalu sering menimbang. Terlalu lama berhati-hati. Terlalu banyak menahan diri demi rasa aman yang ternyata semu. Saya sudah cukup diam, menerima tudingan tanpa pembelaan, mengubur luka begitu dalam hingga nyaris tak terdengar.
Hari ini, saya tahu persis apa yang saya inginkan, dan saya tidak akan berkompromi lagi—dengan siapa pun, untuk alasan apa pun. Saya akan meninggalkan pekerjaan, meninggalkan kota kecil yang sudah memberikan saya rasa aman, demi kegilaan yang bersarang lama dalam jiwa saya. Saya sudah mengepak barang. Esok saya akan pergi.
Saya akan pindah ke kota baru. Kota yang lebih tenang untuk membentuk kembali diri saya—meski belum tahu bagaimana caranya. Di sanalah saya akan mulai, dari titik kosong, sampai saya bisa membawa anak saya tinggal bersama. Ia akan tumbuh dalam asuhan saya sendiri. Dengan tangan saya, dengan cinta saya, dengan keberanian yang saya bangun dari reruntuhan.
Saya tahu risiko keputusan ini. Saya tahu betapa tidak masuk akalnya keputusan saya di mata orang tua dan kerabat. Tapi saya juga tahu, jika saya gagal membesarkannya sendiri—jika saya menyerahkan nasibnya kepada dunia yang tidak saya percaya—saya akan mati dalam penyesalan. Hubungan dengan anak saya adalah satu-satunya hubungan dengan manusia yang ingin saya jalin dengan utuh. Saya tidak bisa memikirkan hal lain selain hidup bersama dengan anak saya.
Itulah sebabnya saya harus mengurusnya sendiri, sebab saya tahu luka apa yang tumbuh ketika seseorang dibesarkan tanpa ruang bicara, tanpa tempat pulang.
Saya ingin anak saya bisa bersalah, bisa gagal, bisa marah, bisa jujur—tanpa takut ditinggal. Saya ingin ia tumbuh dan tahu bahwa apa pun yang ia rasakan, bisa disampaikan kepada saya tanpa menjadi gila, karena saya sendiri telah bertahun-tahun dianggap tak becus, tak layak, bahkan dituding sesat dan murtad—saya tahu rasanya hidup dalam tubuh yang tak dipercaya. Maka saya memilih untuk tidak mewariskan itu padanya.
🌿