Alang-Alang

Menulis dengan Dendam sebagai Tinta

Ketika pengkhianatan membusuk dalam dada, maka menulis adalah satu-satunya cara agar saya tidak ikut busuk bersamanya.

Ingatan itu datang dalam bentuk mimpi berulang dan mimpi di dalam mimpi. Itulah mimpi buruk yang sesungguhnya: ketika saya mengalami kembali—lagi dan lagi—masa lalu yang sumpah mampus ingin saya lupakan.

Saya bangun—atau mengira begitu, tapi saya masih bermimpi, lalu bangun lagi. Saya duduk menatap kipas angin, cangkir kopi, ponsel, dan tembok kamar sempit, mencoba memastikan: ini nyata atau masih mimpi?

Saya butuh waktu untuk menyadari bahwa saya telah bercerai, telah bekerja, tinggal di kota lain, dan anak saya terpisah puluhan kilometer dari saya.

Rutinitas menuntut normal. Tapi, siapa yang bisa normal saat jiwa sobek seperti bendera di musim badai? Saya bosan menangis diam-diam di kamar mandi. Lelah mengutuk dalam hati sepanjang perjalanan pulang kerja, dan muak menunjuk-nunjuk tembok seolah mantan suami saya berdiri di sana. Saya tak ingin melakukan satu pun kesintingan itu lagi, tak ingin lagi menjerit meski dalam hati.

Lalu lahir catatan-catatan, puisi-puisi, dan prosa, sebagai wadah menampung kegilaan saya, amarah saya, kebencian dan dendam kesumat saya, sehingga dengan begitu, mudah-mudahan saya bisa tidur nyenyak.

Seperti penggalan puisi berikut ini, misalnya:

Kau tahankan raungan di sela-sela gigi, kau bentangkan sabar di tiap jengkal lantai rumah, kau hafal ajaran dan petuah, kau yakini tempatmu surga terindah. Kau kulum amarah bertahun-tahun, seperti air laut yang tak pernah kering. Kau pakaikan selembar kain di atas kepala terbakar, kau nasehatkan perempuan menjaga harga diri, bahwa sebaik-baik perempuan, adalah yang penyabar.

Lalu kau lihat lelakimu, main serong dengan perempuan berdada montok dan pinggul bahenol, pemilik warung kelontong di ujung gang. Kau jijik pada cara lelakimu memuja perempuan itu setinggi langit, menjulukinya Humaira di kontak ponsel, menyelipkan ayat-ayat suci di sela percakapan mesum.

Dengan mata berbinar, lelakimu mengirim emoji hati, seakan menemukan bidadari di sudut gang busuk. Ketika namamu disebut-sebut, dalam olok-olok rendah dan keji, serta menudingmu tak becus memasak dan melayani, dadamu terbakar. Apinya menghanguskan berlembar-lembar album foto perkawinanmu, dalam balutan kebaya putih dan gaun hijau.

Kau muak pada dusta-dusta yang menetes dari bibir lelakimu, lalu menempel di telingamu, seperti najis dari air kencing. Kau cabik-cabik nama lelaki itu di dinding batinmu, mengikis huruf demi hurufnya, seperti mencungkil bisul bernanah. Bau anyir pengkhianatan, kau laburkan di sekujur malam.

Malam-malam keparat yang menggeser detik demi detik dengan pelan, membiarkanmu menyulam dendam di sela jemari. Dendammu tumbuh menjadi pohon lebat, dengan akar menjalar ke dasar perut. Kau hidup di antara bisikan buruk tetanggamu, dan gumam iblis yang kau pelihara di balik bantal. Kau muntahkan nama-nama mereka dalam kutukan paling sial, agar mereka menangis darah, dan menanggung malu dari olok-olok orang sekitar.

Celakanya, dunia tak peduli.

Penggalan puisi itu telah berkali-kali saya rombak, sebab syair-syairnya rawan salah tafsir. Seumur hidup saya kerap disalahpahami, jadi saya tahu betul seperti apa bahayanya mulut.

Seorang ustaz main serong dengan ustazah tetangganya. Mereka masing-masing telah memiliki pasangan dan anak. Sang ustaz menyebar kabar bahwa istrinya murtad. Sang ustazah menyebar kabar bahwa suaminya impoten. Masyarakat berpihak pada siapa? Setahun setelah bercerai ustaz dan ustazah itu menikah, dan mereka baik-baik saja, tetap dianggap saleh, tetap dianggap terhormat.

Sementara itu, api dendam menghanguskan seorang perempuan di sudut kamar sempit. Yang kini menulis puisi, yang kini menulis di blog sepi, sebab media sosial begitu berisik. Ingatan pada lelaki itu seperti bangkai yang dipenuhi belatung di dalam perutnya. Maka untuk dapat hidup, ia perlu membedah perutnya sendiri, mengeluarkan dan membuang bangkai tersebut.

Berbahagialah pak ustaz dan bu ustazah yang kini menjadi suami istri dan mendapat dukungan dari kalangan masyarakat. Berbahagialah mereka, dan biarkan si perempuan gila melupakan mereka, lalu memulai hidupnya dari awal lagi. Sendiri lebih baik baginya.

Saya ingin dendam saya berhenti di sini. Jika kebencian saya masih belum cukup tertumpah, maka biarlah saya menyelesaikannya saat ini:

Mereka boleh hidup bersama. Dipuja, dipuji, dianggap saleh, didukung keluarga, dibela masyarakat. Silakan.

Tapi kenapa saya harus berpisah dari anak saya?

Kenapa orang yang menjaga harga diri justru dicabut haknya, sementara mereka yang melanggar norma boleh menyusun ulang hidup tanpa beban?

Saya tak pernah menuntut agar mereka dihukum. Saya hanya ingin hak saya dikembalikan: hak untuk mendampingi anak saya tumbuh, setiap harinya, setiap detiknya.

Itu saja.

Sudah lama saya menghapus akun media sosial. Saya tidak pernah mengusik mereka. Tidak meneror. Tidak membuat keributan. Saya justru menghilang, memilih diam, menarik diri, menyembuhkan luka tanpa sorotan panggung.

Saya hanya ingin satu hal: bersama anak saya.

Dan itu yang terasa tidak adil. Itu yang membuat tubuh terasa dihantam. Jika mereka bisa tinggal satu rumah, satu ranjang, satu meja makan, kenapa saya berjauhan dengan anak?

Anak saya tinggal bersama kedua orang tua saya. Jadi, dendam ini tertuju kepada siapa?

Kepada mantan suami?
Kepada selingkuhannya yang telah ia nikahi?
Kepada orang tua saya?
Atau kepada diri saya sendiri?

Saya bekerja. Saya bertahan hidup.Saya tidak tinggal bersama anak saya karena dunia ini tidak memudahkan perempuan yang ingin merdeka. Saya ingin menyekolahkan anak saya dengan uang saya sendiri, ingin memberinya masa depan yang tidak pahit. Tapi apa harga dari semua itu?

Jarak. Kesepian. Rindu yang menghantam dada saya sampai sesak.

Saya marah kepada sistem yang membuat seorang ibu harus memilih: anaknya atau penghidupannya. Saya marah kepada dunia yang memuji kesabaran perempuan tapi tak pernah menyediakan ruang untuk luka-lukanya. Saya marah karena saya ingin menjadi ibu yang utuh, tapi dunia hanya menyediakan setengah pangkuan.

🌿