Mimpi dan Kesadaran
Sejak kecil, saya sering mengalami mimpi-mimpi magis, mimpi yang meninggalkan jejak mendalam dalam ingatan, perasaan, bahkan juga tubuh, seolah-olah apa yang saya alami dalam mimpi tersebut bukan berlangsung di dalam kepala saja, melainkan tubuh saya telah menyelinap masuk ke dunia mimpi tersebut. Misalnya, di usia delapan, saya mimpi naik tangga ke langit.
Indah. Damai. Namun…. Sungguh keparat!
Saya terlahir sebagai perempuan buruk rupa dari keluarga paling miskin di kampung terpencil. Semestinya penderitaan saya cukup sebagai perempuan miskin dan buruk rupa saja, tapi mimpi-mimpi keparat itu mendedahkan kesadaran saya akan realitas yang lebih luas yang melampaui pemahaman orang tua dan masyarakat sekitar saya.
Dan itulah kesintingan terbesarnya.
Jika saya sudah begitu menderita sebagai perempuan buruk rupa, miskin, dan telinga budek sebelah, maka sinetron dan dapur dan lumpur sawah dan majikan tidak pelit dan sedikit makan enak semestinya sudah cukup memberikan saya kebahagiaan.
Tapi nyatanya saya semakin dihantam oleh kesadaran saya sendiri, bahwa pelajaran-pelajaran di sekolah kampung yang tak punya perpustakaan terlalu mudah dipahami, bahwa pengajaran agama di surau tak bisa menjawab beragam pertanyaan di kepala saya, bahwa saya dipukul dan ditampar jika banyak bertanya, bahwa saya merindukan pengetahuan yang lebih, tapi fisik saya tertahan tak bisa ke mana-mana.
Sekarang, saya masih buruh pabrik.
Dan anak lelaki saya? Anak tunggal saya? Anak yang ditinggal kawin lagi oleh bapaknya? Oh… Demi kumis Gabo!
Dia memimpikan planet-planet mengelilingi tubuhnya, lalu berujar, Indah, Ibu, Indah.
Maka saya selalu merasa kosong ketika mendengar namanya dipanggil sebagai juara kelas. Bukan karena tidak bangga, melainkan karena saya tahu dia akan memikul kutukan yang sama: kesadaran.
Dia akan jadi manusia penuh kemungkinan yang dibesarkan di tanah yang tak mengizinkan kemungkinan berkembang. Dan itu lebih menyakitkan daripada sekadar lapar. Itu lebih mematikan daripada ubun-ubun terbakar matahari di pabrik. Sebab saya tahu persis bagaimana rasanya memelihara mimpi dalam gua sempit dan lembab, dengan langit-langit rendah dan tiang-tiang tabu.
Saya pikir, pengakuan yang saya buat ini adalah guguran batu pertama dari gunung yang akan runtuh suatu hari nanti—gunung yang tak pernah diberi nama karena terlalu sunyi, terlalu dalam, terlalu perempuan.
Saya belum selesai. Anak saya baru memulai. Satu-satu saya bangun anak tangga yang pernah saya naiki dalam mimpi.
Tapi tangga itu tak lagi menuju langit, melainkan menuju rumah, rumah yang jauh, yang belum ada.
🌿