Alang-Alang

Puisi dan Ritus Penyembuhan

Sejak kali pertama puisi ini ditulis sampai setahun berlalu setelahnya, saya masih merasakan getaran dan ketakutan yang sama saat membacanya. Kini saya memberanikan diri memposting puisi ini di blog. Saya pikir, sudah waktunya saya berhenti bersembunyi dari tulisan sendiri. Meski memang, blog ini pun juga adalah tempat persembunyian.

Tuhan di Kursi Bapak

Ia duduk di sana bak berhala
menitahkan seruan serupa sabda
napasnya menjadi hukum
murkanya menjadi azab
seisi rumah patuh padanya
sebab dialah sang kepala
sang kepala...

Aku taat bukan karena hormat
melainkan takut belaka
amarah meledak tak kenal tempat
piring-gelas-meja hancur berserak
setiap kata dari mulutku
tercekat di ujung lidah
dendam ditumpuk rapat di kerongkongan
aku telah belajar diam
jauh mendahului belajar membaca.

“Tak guna kau lahir,” katanya padaku
tak guna sekolah mengaji
jika segenap pengajaran itu
membuatmu berani
lalu jiwaku binasa pelan-pelan
seperti kertas dibakar dari pinggirnya.

Aku bukan anak batu
bukan bayi yang lahir sendiri
aku adalah hasil benihnya
maka hidupku tergantung padanya
suaraku bukan hakku
mataku tak boleh mendongak langit
sebab langit milik Tuhan
dan Tuhan duduk di kursi bapak.

“Sebuas-buas macan, takkan memangsa anak sendiri.”
Ia ucap pepatah itu berulang-ulang
seperti doa yang gagal jadi rahmat
seperti mantra penyihir gelap
membius
membelenggu
menina bobokan rasa salah
melanggengkan balas budi
sampai mati… sampai mati.

Adakah yang diminta sang macan dari anaknya
selain jadi liar seperti dia?
Apa yang diminta sang bapak
dari anak sulungnya?
biar aku jadi anak macan
anak dari angin
anak dari nyala kecil yang tak sudi padam
atau tak jadi apapun
tak payah hidup sekalian
sialnya
aku masih hidup… masih hidup.

Aku tumbuh di antara sumpah serapah
sebagai pelajaran pertama
tentang apa itu cinta
tentang bagaimana orang-orang saling menyiksa
menyebutnya kewajiban keluarga
lalu senyap sesudah ribut
seperti rumah yang dibom
dan dibiarkan berdiri dengan genting miring.

Tak ada permintaan maaf
apalagi pelukan
juga penyesalan
hanya kebisuan panjang
sepanjang lorong kuburan orang mati
di mana yang hidup pura-pura lupa
pada rasa asin air mata.

Kadang ibu jadi seperti bapak
sama buasnya
baginya aku pembawa sial
pembawa susah
di rumah ini
suara paling keras selalu paling benar
suara bapak
duduk di kursi reyot
tapi baginya
tahta dewa-dewa
singgasana raja.

Sudah tiga puluh tujuh tahun
aku dan bapak
seperti dua bayangan di dinding
tak saling sapa
tak ada tanya
tak ada jawab
hanya suara televisi dan langkah kaki di dapur
bukti kami belum jadi mayat.

Aku cepat-cepat pergi sebelum ia bangun
dan pulang setelah ia tidur
masih kudengar suaranya
mengambang di ruang tengah
menyemburkan petuah
tentang bakti dan durhaka
tentang balas budi yang takkan lunas
meski aku menjelma Tuhan itu sendiri.

Jika saja bapak mati
jika saja bapak mati
betapa lega hati
betapa lega hati
atau kematian kutelan saja sendiri
itu pun tetap berarti
sebab sampai kapan pun
kursi reyot itu akan tetap jadi tahta dewa-dewa
kecuali aku patahkan sendiri kakinya.

🌿

~ Saya begitu khawatir puisi ini disalah artikan, sebab memang puisi ini rawan salah tafsir. Saya tidak menulis tentang Tuhan, tidak, apalagi kebencian. Saya hanya menuliskan satu percabangan jalan hidup yang telah dilewati seorang anak perempuan.