Realitas vs Imajinasi - 01
Jika saya berimajinasi tentang X, apakah realitas berubah menjadi X?
Sejak dulu saya selalu ingin pergi jauh, pergi ke negeri yang jauh. Saya merasa begitu terasing dari tanah kelahiran saya, dari orang tua saya, dari kehidupan yang terus berputar-putar. Kenapa begitu?
Perasaan terasing paling dalam muncul di batas kesadaran antara tidur dan bangun, di malam-malam panjang tak dapat tidur, beberapa waktu setelah duduk hening, juga waktu-waktu hening tertentu yang diganggu oleh rasa lapar. Pikiran saya mudah masuk ke dunia mimpi bahkan saat terjaga. Ketika saya sadar begini, saya tahu realitas adalah saya sedang mengetik di ponsel misalnya, dan saya tahu pikiran yang melintas adalah angan-angan. Dalam tidur dan duduk hening kondisinya terbalik. Mimpi terasa realitas, dan realitas tubuh saya yang duduk atau tidur terasa angan-angan. Kenyataan dan mimpi saling bertukar tempat, saya berpindah-pindah di antaranya, dan sering kali saya ingin terlepas dari keduanya.
Bukan tidak pernah saya memiliki pikiran untuk naik ke jembatan tinggi lalu terjun, apalagi di saat sendiri dan di kota asing seperti sekarang. Tak ada yang menghalangi saya untuk mati. Kota S ini—Solo—menggema dalam batin saya sejak beberapa bulan lalu, semacam panggilan untuk memulai ulang. Tarikan itu terasa kuat dan nyata, sampai-sampai saya rela meninggalkan kestabilan hidup demi ketidakpastian nasib, meski setiap langkah diiringi rasa sakit, dan jalan-jalan di depan yang akan saya jejaki sudah menggemakan kekosongan, kehampaan, dan lagi-lagi, keterasingan. Mungkin ada sesuatu di sini—entah apa.
Seharian saya belum makan, dan betapa keparat rasa lapar mengikat saya pada kehidupan. Perut saya menuntut kenyang, mata saya menuntut tidur, kulit menuntut mandi, sementara jiwa menolak tunduk pada hal-hal duniawi. Pertentangan itu melahirkan rasa muak pada keberadaan diri. Rasanya seperti menjadi boneka tali. Satu tali menarik ke atas, ketidakterhubungan terhadap apapun, satu tali menarik ke bawah, pada janji, pada anak, pada mimpi-mimpi kecil yang belum selesai. Jika tubuh ditarik untuk terus bertahan hidup, sementara jiwa terus merindukan kematian, adakah jalan tengah untuk keduanya?
Adakah keterhubungan antara lahiriah dan batiniah sehingga mewujudkan kehidupan yang selaras?
Jika dunia berjalan seperti ini—tarik menarik antara dua kekuatan—mungkin saya perlu mencari cara agar keduanya tidak saling memusnahkan, melainkan saling melengkapi.
Setiap melihat orang-orang bersama dalam momen harmoni dan rukun, sekecil apapun, menimbulkan keharuan dalam hati saya, meskipun saya tidak ingin menjadi bagian dari mereka. Ini salah satu tali yang menarik saya ke bawah, ke tanah, ke kehidupan, satu perasaan yang melenyapkan keterasingan, perasaan yang menuntun saya untuk terus pergi, lagi dan lagi, mencari keselarasan.
Satu keselarasan sederhana saya rasakan bilamana bisa hidup berdua bersama anak saya, mengurusnya sendiri, menyaksikannya tumbuh besar, di tempat baru, tempat yang jauh dari masa lalu saya. Saya pikir kehidupan seperti itu membuat saya merasa cukup. Benar-benar cukup. Setelah ia dewasa, setelah ia terbang tinggi, setelah keberadaan saya tak lagi menjadi penentu hidupnya, setelah ia cukup dengan dirinya sendiri, maka saya bisa melepaskan satu tali yang menarik saya ke bawah dan mengencangkan tali lain yang menarik ke atas.
Kalau memang itulah jawabannya, kalau begitulah cara kerja dunia, maka apa yang bisa saya perbuat selain mengikutinya? Lalu saya pun mulai mengkondisikan pikiran dan perasaan saya supaya selaras dengan hal-hal keduniawian. Saat makan, saya berusaha makan dengan senang, mengusir setiap pikiran yang merasuk bahwa makan hanyalah bentuk kesia-siaan siklus makan-berak-makan. Saat membayar, saya meringankan pikiran, meyakinkan diri bahwa inilah harga yang layak, harga untuk kesehatan dan keselamatan, maka sepatutnya saya bersukacita dan bersyukur. Saat mandi, saya berupaya mandi dengan senang pula, lalu sambil berpakaian, saya bertanya kepada tubuh yang menyisakan aroma wangi sabun. “Inikah yang kau inginkan? Bersih, wangi, dan terlihat rapi?”
Saya menyapukan bedak ke kulit wajah saya, mengoleskan lipstik ke bibir saya sambil tersenyum. Saya tertegun sejenak, menyadari bahwa selama 38 tahun saya telah mengabaikan keberadaan tubuh saya sendiri. Saya selalu berpikir telah lahir di tubuh yang salah, tubuh yang lemah, tubuh dengan telinga budek sebelah, tubuh dengan wasir menahun, tubuh dengan kulit korengan, tubuh dengan gigi tonggos. Bagaimana jika sekarang saya mencoba mulai menerima semuanya?
Saya berusaha mempertahankan keselarasan pikiran dan perasaan akan penerimaan tubuh, penerimaan asal muasal yang mencakup tanah kelahiran, orang tua, kerabat, kawan-kawan lama, jalan nasib, bahkan orang-orang yang tak sanggup saya sebut namanya. Melupakan semua itu barangkali kemustahilan, sebab bahkan hanya berpapasan sekali dengan seseorang di jalan, jika ada interaksi dengan orang tersebut dan esoknya bertemu lagi, saya akan mengingatnya. Jadi satu hal yang dapat saya lakukan adalah memisahkan masa lalu saya dengan beban emosional akan penderitaan yang diakibatkannya. Saya mungkin akan tetap ingat, tapi tak lagi terpengaruh.
Dan itu bukan perkara sederhana, apalagi ketika jumlah uang semakin berkurang, sementara arah ke depan masih belum jelas. Apakah saya cukup berhenti di sini, terjun dari jembatan tinggi, lalu mati? Apakah saya diperkenankan untuk melaju pergi? Apakah hanya akan berputar-putar dalam siklus hidup yang sama, lagi dan lagi?
🌿