Alang-Alang

Realitas vs Imajinasi - 02

Realitas vs Imajinasi - 01

Jika saya berusaha mengondisikan pikiran agar selaras dengan kehidupan ideal yang saya kehendaki, apakah itu berarti saya sedang menciptakan realitas yang saya bayangkan?

Sudah jelas betul apa yang saya inginkan dalam hidup. Sejak bertahun-tahun lalu, sejak masih di rumah lama, sejak detik pertama anak saya terlahir, bahkan sejak mengetahui bahwa saya akhirnya hamil. Lantas kehendak itu terkendala oleh tahun-tahun hidup dalam kemelaratan, pandemi corona, pengkhianatan, perisakan, lalu akhirnya perpisahan yang tak terelakkan.

Saya memulai ulang semuanya, sendirian, di tempat asing, dengan anak yang terpisah dari saya—anak yang menjadi satu-satunya alasan saya masih hidup—dengan kepahitan-kepahitan masa lampau yang kerap menyeruak, mengganggu hari-hari saya siang dan malam. Lalu waktu, dengan segala muslihatnya, melipat usia saya menjadi tiga puluh delapan. Apa yang saya miliki selain beban emosional masa lalu yang masih saya genggam?

Betapa keparatnya bahwa saya sepenuhnya telah menjadi budak dari masa lalu tersebut.

Tidakkah cukup bahwa saya sudah menumpahkan kemarahan dan menuliskan segala dendam?

Bukankah kini tinggal melepaskan saja? Melepaskan semua kemelekatan, terutama kegetiran yang hanya menyisakan kehancuran?

Dengan begitu, rumah di tepian waktu yang telah saya rancang bisa segera saya wujudkan. Rumah itu, rumah yang membuat saya akhirnya merasa pulang, rumah yang menyaksikan anak saya tumbuh dewasa dengan kebahagiaan, rumah yang memberi kebebasan secara utuh, kebebasan dengan tanggung jawab dan kesadaran penuh.

Maka baiklah, mari dimulai sekarang, masa-masa pelepasan. Apa yang masih menempel? Rendah diri. Tak berdaya. Luka pengasuhan. Korban perselingkuhan dan kekerasan psikis. Sasaran fitnah dan perisakan. Segala kebencian yang terus menyala seperti bara api. Dendam kesumat. Kemelaratan yang menyertai serupa bayang-bayang. Untuk apa menggenggam semua itu? Apa yang saya dapatkan selain jiwa yang terbakar?

Membentuk ulang diri berarti menghancurkan tubuh lama, watak lama, kebiasaan lama. Seperti hendak mengubah patung tanah liat yang sudah berwujud. Mungkinkah tanpa palu, tanpa membiarkannya lebur di bawah badai, lalu memulai dari tanah yang sama? Dan saya sudah hancur. Maka tinggallah meleburkan diri di bawah hujan badai, bukan?

Apa yang terjadi setelah badai berlalu? Pelangi yang indah? Atau hanya puing-puing dan kekosongan?

Hari-hari berjalan pelan, hening, dari Senin ke Minggu, kembali ke Senin. Saya menulis, saya berdoa, saya bicara pada langit, seakan-akan semesta mau mendengar. Tidak ada tanda-tanda, tidak ada suara, hanya saya yang terus menggenggam kesintingan dan harapan dengan sama longgarnya.

Siang dan malam, saya berupaya terus menerus hanya memikirkan: jika saja anak saya sudah bersama saya, jika kami sudah punya rumah, jika kami bisa menjalani hari-hari dengan bebas dan utuh, jika saya memiliki penghasilan lebih dari cukup, jika saya memiliki keberanian untuk tak lagi menoleh ke belakang, bahkan kepada orang tua.

Selama hari-hari yang panjang dan kelabu di Solo, manakala saya berada dalam kekosongan, tidak memiliki apa-apa, tidak bersama siapa-siapa, tidak berpegang pada apapun, tidak pada uang, tidak pada pekerjaan–saya menatap satu-satunya hal yang masih ada: pikiran saya sendiri. Imajinasi saya.

Apa yang saya imajinasikan setiap detik selama dua puluh empat jam? Apa dampak dari imajinasi itu terhadap perasaan saya, terhadap realitas hidup saya?

Ada satu hari yang saya lewati hanya dengan tidur, sementara hari-hari lain sama sekali tanpa tidur, sementara hari-hari lain lagi berkeliaran di jalan-jalan ramai Solo seorang diri.

Saya tertegun sejenak melihat seorang pengendara motor, perempuan, mengenakan kemeja dan sepatu pantofel. Saya tidak bisa mengendarai motor. Saya tertegun lagi manakala melihat seorang lelaki, perempuan, dan anak kecil di tengah-tengah yang mereka gandeng. Saya sudah tidak berkeluarga. Saya mampir untuk membeli es teh manis dua ribuan. Pedagangnya seorang lelaki paruh baya, sementara penjual gorengan sudah nenek-nenek. Saya akan menua seperti mereka, nanti, dan kala itu terjadi, kehidupan seperti apa yang bakal saya jalani? Jumlah uban di kepala saya sudah ada tujuh helai, maka menjadi tua adalah lorong pendek yang bisa jadi, saya lewati tanpa terasa.

Maka di sini, di titik ini, jika hidup memang layak untuk dijalani; yakni kehidupan bersama dengan anak saya, apa yang perlu saya lakukan untuk mewujudkannya?

Otak kiri memberi jawaban dan analisa: Bekerja 8 to 5. Gaji UMR. Naik gaji setahun sekali. Perseteruan dengan orang tua. Anak saya bawa ke Solo. Hidup sederhana. Pas-pasan. Tidak ada jalan-jalan. Tidak ada makan-makan di restoran. Hanya saya dan anak dan berhemat. Kerja keras bagai kuda dan tetap miskin. Saldo nol tiap bulan.

Sementara otak kanan saya—si pemimpi, si tukang angan-angan, si penulis—menganalisa kemungkinan demi kemungkinan, lompatan demi lompatan, yang seketika dipatahkan oleh si otak kiri dengan satu kata telak, HALU. Otak kanan saya berusaha melawan, tentu saja, lantas mendeklarasikan diri bahwa saya nekat pindah ke Solo bukan untuk mengulang siklus, melainkan untuk melakukan lompatan besar. Lompatan besar dalam hidup.

Sudah 38 tahun saya hidup berdasarkan keyakinan dan analisa si otak kiri, dan hasilnya? Garis lurus dan menurun dari saldo nol sampai minus. Sebab apa yang bisa dicapai oleh seorang perempuan buruk rupa yang berasal dari keluarga miskin dari desa terpencil Indonesia? Tapi apakah hukum dunia sepenuhnya berlaku pada hal-hal logis semacam itu? Apa yang menggerakkan batin saya sehingga fisik saya tunduk dan datang ke Solo? Murni kesintingan? Bisikan setan?

Atau ada hukum lain yang tak terlihat? Sebuah hukum yang diam-diam bekerja, menunggu saya mempercayainya sampai tuntas?

bersambung

🌿

Email Saweria