Realitas vs Imajinasi - 03
Realitas vs Imajinasi - 01
Realitas vs Imajinasi - 02
Sudah bertahun-tahun saya mempelajari, mempraktikkan, berupaya mendisiplinkan pikiran, dan saya masih terjebak dalam satu pertanyaan tunggal: apakah imajinasi sungguh menggerakkan dunia, atau hanya menipu diri?
Di Solo, dalam keputusasaan yang menekan tulang, saya melakukan percobaan sederhana—sebuah bayangan kecil tentang kiriman makanan dari ibu kos. Sekilas, ringan, tanpa doa panjang, tanpa ritual, hanya imajinasi yang lewat begitu saja. Beberapa hari kemudian pintu kamar saya diketuk. Seporsi makanan hangat menunggu di depan. Percobaan-percobaan sederhana begini memang sering kali berhasil. Sementara saya menghendaki sebuah keajaiban yang bisa mematahkan garis logika yang selama ini menjerat saya. Dan itu masih menggantung jauh di cakrawala.
Setiap malam saya berupaya membayangkan seolah-olah anak saya berbaring di samping saya. Ia mendengarkan dengan antusias dongeng-dongeng yang saya ceritakan. Sebisa mungkin jemari saya merasakan helaian rambutnya, tekstur kulitnya, tulang punggungnya. Saya mengondisikan telinga saya sehingga dapat mengenali suara tawanya. Betapa indah dan melegakan bila hal itu adalah kenyataan. Namun, upaya tersebut senantiasa melahirkan deraan rasa rindu yang amat menyesakkan, merembes perlahan-lahan ke dalam pori-pori kulit saya, lalu bersarang di dalam sanubari saya.
Saya telah mengurusnya seorang diri selama tujuh tahun pertama kehidupannya. Saya mengingat-ingat lagi—hanya itulah yang mampu saya lakukan saat ini—momen-momen menyenangkan bersamanya. Kata pertama yang terucap dari mulutnya, pertama kalinya ia bisa tengkurap, lalu merangkak, berjalan, berlari, tepung yang ia acak-acak, bantal yang ditumpuk menjadi menara, sore hari ketika ia bisa naik sepeda, masa-masa setiap kali saya terpaksa belajar mencukur sendiri rambutnya demi berhemat. O! Betapa tak satu pun hari terlewat tanpa bersamanya, sampai hari perpisahan tiba, hari-hari paling keparat dalam hidup saya, hari di mana dunia tak pernah lagi sama. Dan setiap kali mengingat anak, setiap itu pula saya tak sanggup mengendalikan perasaan dan air mata saya.
Saya lagi dan lagi membayangkan, merasakan, menanamkan, memasang alarm pukul tiga dini hari, bersimpuh sampai pagi, merakit gambar-gambar indah di pikiran: rumah kecil dengan jendela kayu, suara tawa anak saya, aroma nasi yang mengepul di meja makan, secangkir kopi dan segelas susu hangat di pagi hari. Saya mencoba menahan bayangan itu seperti orang yang menahan api di telapak tangan. Gambar-gambar dan keyakinan-keyakinan lain lantas membanjiri pikiran saya bagai arus deras: kenyataan, rekening kosong, wajah dingin ibu, amarah bapak, suara-suara masa lalu yang menyeringai.
Hampir setiap malam saya hanya mampu tidur dua atau tiga jam saja. Saya menatap langit-langit, mendengar putaran kipas angin seperti badai yang menghempaskan tubuh saya. Apakah saya sedang menghibur diri dengan kebohongan yang cantik? Kalau benar imajinasi menciptakan realitas, mengapa saya masih terperangkap di kamar sempit yang berjarak tiga ratus kilometer jauhnya dari anak saya?
Malam ke tujuh belas di Solo saya tidak lagi sanggup bertanya, tidak lagi sanggup berpikir, tidak lagi sanggup berharap. Tubuh saya rebah dengan mata terbuka lebar. Ada sesuatu yang pecah di dalam, seperti kaca yang dilempar dari ketinggian. Saya menangis, tangis yang memuntahkan semua yang tidak bisa saya ucapkan kepada siapa pun. Jika dunia membiarkan saya terpisah dengan anak, apakah saya akan sampai pada kematian? Kematian raga? Kematian jiwa?
Saya menangis lagi sampai suara saya serak, sampai dada saya sesak, sampai mata saya bengkak, sampai saya kehabisan tenaga. Saya berada di tepi jurang antara waras dan gila.
Mati
Mati
Mati
Betapa kata itu begitu akrab di kepala saya. Tapi malam ini saya tidak lagi memiliki kehendak, termasuk kehendak untuk mati, maupun untuk hidup. Tidak ada harapan apa-apa. Tidak ada kemarahan. Tidak ada keputusasaan. Tidak ada. Segala keinginan telah mati sekarang. Bahkan keinginan agar anak saya kembali, agar hidup saya berubah. Semuanya mati. Saya meleburkan semua kemelekatan, semua keterhubungan, semua keterjalinan. Saya menyatu dengan kehampaan. Saya tidak menghendaki apapun.
Saya tanpa nama, tanpa identitas, tanpa masa lalu. Tidak ada seorang ibu yang tersiksa hidup berjauhan dengan anak, tidak ada perempuan yang menulis catatan, yang berpikir, yang merenung, yang menunggu panggilan wawancara kerja, yang kerap membayangkan menggandeng tangan anaknya dalam perjalanan menuju sekolah. Tidak ada janda sinting berkeliaran di jalan-jalan Solo. Tidak ada lagi diri saya; terlepas dari berbagai lakon, terlepas dari bermacam kisah, terlepas dari segala pengalaman masa lampau maupun kemungkinan-kemungkinan masa depan. Saya bukan lagi saya. Persetan dengan label anak durhaka-istri pembangkang-perempuan keras kepala-janda miskin kebanyakan mikir. Persetan dengan hukum-hukum semesta dan aturan-aturan manusia. Saya hanya ruang kosong. Tanpa napas. Tanpa detak. Tanpa denyut.
Kosong
Betapa berengseknya semua pikiran-pikiran. Matilah segenap perasaan; rendah diri, malu, takut, sengsara, tersiksa, sukacita, kerinduan, hasrat, kasih sayang.
Hancurlah raga yang terus menuntut makan-minum-mandi-tidur-berpakaian. Biarlah jiwa saya terlepas dari tubuh. Biarkan rasa lapar. Biarkan saja. Biarkan air mata mengering di pipi, menjadi kerak, menjadi darah. Tidak ada dendam. Tidak ada tuntutan. Tidak ada penderitaan. Tidak ada suara. Tidak ada apapun. Semuanya diam.
Diam
Kalau anak saya kembali sekarang, kalau anak saya tidak kembali seumur hidup, apa bedanya? Saya tetap saya, yang akhirnya tetap mati.
Tapi keberadaan anak memberi perbedaan dalam hidup. Maka sekarang pun saya masih hidup. Hidup yang seperti mati. Apa yang mesti terjadi akan terjadi. Dan tidak ada lagi yang harus terjadi. Semuanya selesai.
Padam
Gelap
Hilang