Alang-Alang

Realitas vs Imajinasi - 04

Realitas vs Imajinasi - 01
Realitas vs Imajinasi - 02
Realitas vs Imajinasi - 03

Saya masih hidup.

Saya terbangun oleh suara notifikasi ponsel. Panggilan wawancara kerja esok lusa.

Di dalam kekosongan yang terus dipelihara, ada tunas baru tumbuh tepat ketika saya berpikir semua hanya wacana. Kenyataan menampakkan diri dengan cara paling biasa dan paling bisa diterima oleh otak kiri saya.

Saya membelanjakan uang seratus ribu rupiah untuk membeli susu formula pertumbuhan, lalu menulis surat di selembar kertas, melipatnya dan memasukkannya ke dalam amplop buatan sendiri dari potongan kertas kado. Surat itu saya tempelkan pada kotak susu. Kepada anak, saya berterus terang sudah pindah ke Solo dan sudah mendapat pekerjaan—padahal wawancara saja belum—sebab entah bagaimana saya yakin akan diterima kerja. Saya ceritakan jalan-jalan Solo yang tertata rapi, juga taman-taman, tempat kursus, dan semua keindahan di sini yang tidak ada di kampung kelahiran saya—tempat anak saya tinggal, dan betapa menyenangkannya bila kami bisa tinggal bersama di kota ini, kota yang sejak detik pertama saya menjejakkan kaki, saya sudah merasa betah.

Tiga hari kemudian ketika surat sampai kepada anak, saya sedang duduk menghadap laptop, memasukan data penjualan, menjurnal transaksi dan membuat laporan keuangan. Persis seperti analisa si otak kiri. Kerja accounting 8 to 5. Gaji UMR. Satu tambahan, Sabtu tetap masuk, tetap 8 to 5. Untuk membawa anak saya ke sini dan membiayai pendidikannya, saya butuh penghasilan lebih dari UMR, butuh waktu lebih fleksibel. Dalam kondisi ini, saya kembali pada pola lama, pada pikiran lama, pada pertanyaan lama, apakah realitas bisa tunduk pada imajinasi?

Saya seolah dapat melihat tangis haru anak saya saat membaca surat saya, juga gerutuan ibu dan murka bapak sebab saya tidak bercerita apapun pada mereka, dan kabar kepindahan saya ke Solo justru mereka dengar dari anak saya, anak lelaki berusia delapan tahun, anak lelaki yang dikirimi surat tulisan tangan di zaman digital begini. Saya lalu menerima panggilan telepon dari Bapak, sengaja tidak saya angkat. Tidak ada yang perlu dibicarakan—tepatnya, saya tidak tahu mesti bicara apa. Memang selalu begitu.

Sepuluh hari setelah surat pertama, saya kembali duduk menulis. Kali ini ucapan ulang tahun. Anak saya genap berusia sembilan. Saya ceritakan betapa besar ia di mata saya, betapa dunia terasa lebih lengkap sejak kelahirannya. Saya lipat kertas itu, saya masukkan ke dalam amplop, dan saya tahu: surat ini akan membawanya merasakan kehadiran saya, meski jarak tiga ratus kilometer membentang panjang.

Setelah surat beserta sekotak susu, marshmallow, dan juga baju saya kirim, realitas kembali mencengkeram. Saya duduk di meja kerja, menghitung angka-angka. Jurnal, debit, kredit, saldo. Kepala saya sesekali menghitung hal-hal lain. Berapa penghasilan yang cukup untuk membawa anak ke Solo? UMR terlalu kecil. Saya butuh dua, tiga, atau empat kali lipat dari ini. Lantas, kalau anak saya benar-benar datang ke Solo, siapa yang menemaninya saat saya bekerja seharian? Bagaimana saya bisa membagi waktu antara pekerjaan, rumah, sekolahnya, dan gelegak rindu yang sudah tak lagi tertampung? Pikiran itu berputar-putar seperti kipas angin di kamar kontrakan—tak pernah berhenti, hanya membuat kantuk semakin jauh.

Sudah lama memang tidur saya tidak teratur. Larut malam saya masih berbaring dengan mata terbuka, menghitung jam, menghitung menit, menghitung langkah menuju subuh. Satu jam terlelap lalu bangun. Dua jam tidur gelisah dan terjaga lagi. Otak kiri menuntut istirahat, tapi otak kanan menyalakan layar bioskop: menayangkan anak, rumah, uang, jalan-jalan Solo yang indah di malam hari.

Pada akhirnya, saya kembali pada satu hal yang selalu bisa menampung semuanya: menulis. Di layar ponsel, di halaman blog, atau di lembaran prosa liris yang tak pernah selesai. Menulis membuat saya seolah-olah punya kendali, meski kecil, meski rapuh. Kalau imajinasi memang mencipta realitas, maka tulisan adalah cara saya memahat imajinasi itu agar tetap hidup, agar tidak hanyut terbawa arus waktu yang membosankan.

Saya menggenggam erat-erat dua hal: anak dan keyakinan. Anak sebagai alasan—juga tujuan, dan keyakinan sebagai bahan bakar. Dan di antara keduanya, saya berjalan di garis tipis antara realitas yang kaku dan imajinasi yang cair.

Apakah tulisan juga bagian dari imajinasi yang melahirkan realitas, atau hanya hiburan semata? Pertanyaan itu sekarang menguat di kepala saya. Di balik keras kepalanya dunia realitas dan si otak kiri, untuk apa pula saya masih keras kepala menulis?

Menulis terasa nyata—ada huruf, ada kata, ada kalimat yang bisa dilihat, dibaca, disentuh di layar atau di kertas. Tapi di sisi lain, semua bermula dari bayangan, dari sesuatu yang bahkan tak punya wujud. Menulis lahir dari ruang yang tidak bisa ditimbang, tidak bisa diukur, tidak bisa dimasukkan ke laporan keuangan mana pun.

Kalau begitu, menulis itu kegiatan otak kanan atau kiri?

Apakah menulis mampu mengubah realitas, ataukah sekadar obat penenang yang membuat saya tidak gila?

Kalau menulis hanyalah hiburan, lalu untuk apa saya menumpahkan waktu, tenaga, dan hati di dalamnya? Tapi kalau menulis memang bisa menggerakkan realitas, mengapa hasilnya begitu lambat, seakan-akan dunia enggan tunduk, seakan-akan imajinasi yang saya rangkai dengan kata-kata belum cukup kuat untuk membelah tembok kenyataan?

Satu hal saja yang paling manusiawi dari menulis. Ia menjadi napas ketika napas terasa habis. Ketika malam menutup dan mimpi-mimpi berbaris seperti tentara tua, ketika tubuh saya lelah dan otak saya menolak tidur, menulis semata-mata saya lakukan untuk menegaskan. “Hai! Aku masih ada. Di sini. Di sini.”

Kata-kata mampu menampung dendam, menaruh rindu, menimbang rasa bersalah sampai ringan. Menulis membiarkan saya mendekap anak—menggenggam helaian rambutnya dalam kalimat—bahkan ketika tangan saya tak mampu meraih wujud fisiknya.

Kadang saya pikir, menulis hanyalah satu kesintingan lain, setara dengan kesintingan-kesintingan yang menggerakkan saya meninggalkan tanah kelahiran. Di ujungnya, saya menulis untuk satu hal yang tidak mau saya bagi kepada orang lain, semacam jejak yang saya tinggalkan hanya untuk anak saya, supaya kelak jika ia ingin, ia bisa menapak tilas langkah-langkah ibunya, sebab di situlah ia bisa menatap dirinya sendiri, kelahiran dan pertumbuhannya.

🌿