Rumah di Papan Tulis
Induk burung menyuapi anaknya di ranting pohon. Di bawahnya, bocah berbaju bolong-bolong mengunyah roti curian. Ia teringat tarian ibunya di atas panggung. Pikirannya menyimpan tanya; Apakah di neraka ibu masih menari?
Dadanya tersengat seperti digigit semut api. Ia ingin terbang. Lepas dari gaya tarikan bumi, lepas dari kesalahan yang bahkan ia sendiri tak mengerti. Tapi ayah mengerti. Dari mata ayah, ia tahu ia tak perlu mengerti untuk bisa pergi.
Rerumputan meliuk ditiup angin. Paku karatan menancap di pagar bambu. Lelaki paruh baya mencerabut seutas batang menjalar. Kulit jarinya tersayat. Darah mengucur. Merah. Warna yang pernah ia lihat di sapu tangan bertahun lalu, juga di tepi selokan belum lama ini. Amarah menebal di udara. Ia merobohkan pagar, merobohkan pohon. Anak lelaki yang mengintip di balik pintu ikut roboh di dalam dirinya.
Ia melangkah pelan ke halaman, datang dengan dada berdebar; Apakah ayah baik-baik saja? Apakah aku melakukan kejahatan lagi?
Pesawat mainan dalam genggaman. Ayah menoleh, disertai gelegar dan jari telunjuk yang bergetar, menunjuk jalan ke luar pagar.
Sejak itu si bocah tahu: ia harus pergi.
Ia tidak pulang. Tidur di bawah pohon, di emper toko, di sudut-sudut yang orang dewasa benci. Langit malam ia hafal, bintang-bintang ia hitung, wajah ibu membayang dalam cahaya bulan. Ia memikirkan rumah. Ada ayah duduk di ruang tamu, ibu memasak di dapur, dan ia bermain di teras. Itu sebelum ibu batuk darah.
Pernah, sebelum semua hancur, ibu tiri menyisir rambutnya di pagi hari, membekalinya nasi telur ceplok dan orek tempe. Suaranya lembut; “Jangan nakal di sekolah.” Bocah nyaris lupa momen itu, hingga kini terasa lebih sakit dari tamparan yang datang kemudian.
Seorang perempuan berkantung mata bengkak menjemur boneka lusuh di pagar kawat. Ia menyisir rambut boneka dengan jari, sambil bersenandung lagu pengantar tidur yang tak pernah sampai pada kata “mimpi indah”. Katanya, boneka itu tidak tahan lembab, dan anaknya—yang telah dikubur sebulan lalu—tak suka mainan bau tanah.
Bocah berbaju bolong-bolong tahu. Ia menemani bayi manis bermain hari itu. Ia mendengar tawa terakhirnya. Sedetik kemudian tawa terhenti. Disusul tangisan. Tubuh mungil terjerembab dalam selokan. Ia membayangkan jika saja tangannya bisa bergerak cepat untuk menangkap.
Di dalam kelas, ibu guru menggambar rumah di papan tulis. Pagar rapi. Matahari tersenyum. Boneka tergantung di tali jemuran. Sarang burung di ranting pohon. Air mata menetes diam-diam. Kepalanya sibuk mereka adegan: “Kalau saja hari itu tidak kutinggalkan bayiku dengan bocah itu… Kalau saja aku tidak terlalu menyalahkannya… Kalau saja aku tidak memukulinya…”
Ia menatap rumah di papan tulis. Rumah yang mustahil kembali.
Di luar hujan turun. Bocah berbaju bolong-bolong duduk di bawah pohon rindang memeluk lutut. Air jatuh bagai ribuan anak panah. Gemuruh terdengar seperti gendang di atas panggung. Pinggang ibu meliuk, menari sekali lagi, sebelum dibungkus kain putih.