Alang-Alang

Rumah di Tepian Waktu

Di negeri yang jauh, di mana angin tak membawa sesumbar, dan matahari terbit tanpa membakar, aku membangun rumah.

Pintu depannya terbuat dari buku-buku, jendelanya dari tawa anakku, dan di tiap sudutnya, kusimpan keping-keping doa yang tak pernah sempat kusebutkan di bumi lama.

Di sana, aku bukan perempuan yang disumpahi, bukan ibu yang dihakimi, bukan anak yang disesali kelahirannya. Aku cuma aku, tanpa gelar, tanpa luka yang diumbar, tanpa nama panggilan yang mencibir.

Di sana, aku mengunyah makananku pelan-pelan, merasakan kenikmatan dari setiap rempah dan bumbu, tanpa diburu-buru. Aku tidur tanpa bermimpi dikejar bayang-bayang tubuh masa silam. Aku berjalan tanpa menunduk. Aku bersuara tanpa dipotong.

Di rumah itu, tak ada aturan yang memasung, tak ada bisik-bisik pergunjingan, tak ada lelaki yang pura-pura bijak, menyembunyikan serigala dalam bulu domba bersorban putih.

Di rumah itu, hanya aku dan anakku, selaras dengan alam.

~ "Rumah di Tepian Waktu." bagian dari kisah Serigala Emas.

Aku duduk di beranda rumah kecilku yang diterangi cahaya pagi. Udara segar membawa aroma bunga-bunga di taman depan, sementara suara gelak tawa anakku terdengar dari dalam. Dia sedang asyik menyusun eksperimen kecil di ruang belajarnya, bersemangat seperti biasa.

Hidupku kini adalah kehidupan yang selalu kudambakan. Setiap sudut rumah membawa ingatan lama pada hari-hari kerja sampai larut malam dan tidur pukul dua pagi. Di masa sekarang, dan kukehendaki pula terjadi di masa-masa mendatang pada sisa usiaku, menit demi menit berputar lebih lambat, lebih magis, lebih tenang, dan tak ada hal paling indah selain berdiri di kebun belakang pada sore hari, memandangi tomat dan cabai berbuah lebat, lalu mendengar lamat-lamat suara anakku memanggil, “Ibu, aku pulang!”

Aku mendengar langkah kakinya mendekat. Kami berpelukan. Ia menggandeng tanganku dan kami berjalan bersama menuju dapur. Aku duduk menghadap meja makan, menunggunya melepas sepatu, menyimpan tas sekolah, dan berganti pakaian.

**

Dinding depan menyajikan banyak cerita. Foto-foto tergantung rapi, menangkap momen-momen bahagia kami berdua—piknik di tepi danau, petualangan mendaki gunung, sore-sore santai di taman kota, dan penjelajahan ke negeri yang jauh, dunia luas di mana keajaiban meluap tanpa batas, tanah dengan seribu cahaya, serta alam yang berbicara dalam bahasa yang hanya dapat dipahami oleh jiwa-jiwa pengelana.

Setiap gambar adalah perayaan kecil atas kemenangan besar: ketika anakku pertama kalinya naik kereta sendirian—kami bertemu di taman dengan air mancur buatan. Ketika ia mengikuti perlombaan renang—kami memesan banyak makanan untuk kami berdua habiskan, dan dalam foto itu aku sedang menyuapinya lumpia udang. Pohon anggur kami berbuah—ia memetik satu-satu seraya menghitungnya dengan cermat. Robot kecil yang ia perbaiki membawa kami pada perjalanan ke negeri Sailormoon dan Naruto. Tumpukan buku di atas meja kerja yang sedang kububuhi tanda tangan membukakan jalan pada undangan-undangan di acara penghargaan dan pameran, di kota-kota berusia ribuan tahun.

Aku menyukai rutinitas sederhana yang kujalani setiap hari. Pagi-pagi, aku menyiapkan sarapan, menikmati aroma nasi hangat dan kopi yang mengepul. Setelah anakku berangkat sekolah, aku duduk di ruang kerja yang menghadap jendela besar, memandangi hijau rumput dan biru langit.

Ketika sore tiba, kami berjalan-jalan ke taman kecil di dekat rumah. Dia bercerita tentang pelajarannya, sekolahnya, kawan-kawannya, cita-citanya. Aku mendengarkan, tersenyum, merasa lega pada kebebasan yang kini kami miliki untuk memilih jalan kami sendiri. Terbang setinggi mungkin, bermimpi besar, dan mengalami hidup yang luar biasa.

Setiap malam, kami duduk di sofa, membaca buku bersama, sebelum akhirnya dia terlelap di kamarnya yang nyaman. Aku menghabiskan satu jam waktu dengan diriku sendiri, berdiam dalam hening, mendengarkan detak jantung dan hembusan napas, sebelum sisa malam berlalu dalam tidur pulas. Hari-hari selalu selaras dalam irama alam semesta.

Rumah ini lebih dari sekadar tempat tinggal. Aku menemukan diriku, tempat aku akhirnya merasa telah pulang. Di sini, di rumah ini, aku membangun kehidupan yang berakar pada kesejatian diri. Duniaku sekarang begitu aman. Aku dan anakku merayakannya dalam setiap napas yang kami hirup.

🌿