Sabtu Tanpa Foto
Pengumuman dua puluh besar sayembara puisi, kabar pertama yang saya baca pagi ini, lalu grup Whatsapp kantor mulai ramai; rencana foto bersama, cuaca sedang bagus, langit biru, awan putih, maskara, pemulas bibir, dan sudah berbulan-bulan lampau sejak kami terakhir kali foto-foto.
Delapan hari menjelang pengunduran diri, bos besar baru mendarat di Indonesia kemarin, dan hari ini, saya berencana menghadapnya untuk meminta persetujuan secara resmi. Surat pengunduran diri saya ajukan sejak akhir April, ditunda berkali-kali, sebab belum dapat pengganti yang sesuai, sampai kini, sudah awal Agustus. Sakit kepala di kening belum reda sejak kemarin, padahal darah haid sudah tak lagi deras keluar.
Pukul tujuh lima belas saya mengirim pesan tidak masuk kerja sebab migrain, bukan dusta, meski sebenarnya rasa sakit masih sanggup saya tahan sebagaimana kemarin, tapi kemarin tidak ada foto-foto, dan saya khawatir menyinggung rekan kerja jika berkata saya tak suka difoto.
Saya menyeduh teh, membaca ulang puisi yang saya kirim untuk lomba, yang tidak masuk dua puluh besar, yang tidak jadi apa-apa.
Saya membuka jendela. Langit tetap biru. Awan tetap putih. Tak ada yang perlu difoto.
Di media sosial, saya melihat keramaian festival sastra yang tengah berlangsung di sebuah kota, kota yang bagi saya serupa negeri kahyangan, kota impian saya ketika remaja, kota di mana orang bisa duduk di kafe dan membaca buku, kota yang tak pernah bisa saya pijak, sebab tanah dalam hidup saya hanyalah desa terpencil, rumah kumuh, sepuluh tahun pernikahan yang telah hancur, kamar kos sempit, jalanan macet, debu, bau bensin, pabrik dengan dengung mesin-mesin, forklift, truk mengangkut barang, surat jalan, stempel, dan tanda tangan sekuriti.
Beberapa hari lalu saya berangan-angan memenangkan lomba, menerima uang hadiah tiga juta, membawa anak saya naik kereta—pertama kali bagi kami berdua—dan memperlihatkan dunia yang berbeda kepadanya.
Kenyataan masih seperti sebelumnya.
Anak saya tetap bersama neneknya, seratus tiga puluh kilometer jauhnya dari saya, yang sebentar lagi berusia tiga puluh delapan, masih di kamar kos sempit, masih bekerja di pabrik, dan kami masih belum pernah naik kereta, belum tahu dunia yang berbeda itu.
Saya meminum teh lalu mengusap air mata.
🌿