Sinting 24 Jam — Ulang Tahun ke-38 di kota S.
Hari ini ulang tahunku. Bukan ulang tahun biasa, melainkan satu halaman dalam memoar yang belum terbit. Sebuah bab yang akan kubuka lagi sepuluh tahun nanti, dan mungkin baru saat itu aku bisa tertawa lepas sambil berkata, “Duh Gusti! Betapa keras kepalanya aku dulu. Dan betapa beruntungnya aku tidak menyerah.”
Aku ingin dua hal sebagai hadiah: membaca buku dan melakukan sesuatu yang akan kuceritakan sepuluh tahun lagi, atau akan kusimpan sampai aman untuk diucapkan. Selebihnya, biarkan hari ini menjadi eksperimen kecil tentang bagaimana rasanya hidup di batas antara waras dan sinting.
Pagi hari aku pergi ke perpustakaan. Aku membaca A Wrinkle in Time—belum selesai, hanya beberapa bab—dan membuka Arabian Nights, menelan tiga kisah, salah satunya tentang Sinbad. Dunia mereka penuh keajaiban. Seperti sebuah ironi kecil, aku duduk di pojok perpustakaan, mencoba melarikan diri melalui cerita, padahal di luar sana, aku sendiri sedang memulai petualangan tanpa peta.
Siangnya aku melakukan sesuatu yang tak bisa kuceritakan sekarang. Bukan karena tindak kejahatan, atau tak bermoral, atau memalukan—bukan itu—melainkan karena dunia ini masih kejam terhadap orang yang mencoba keluar sedikit saja dari garis yang mereka gambar. Aku hanya bisa katakan: tujuh puluh lima ribu rupiah lenyap, setara tiga hari hidupku yang biasanya hemat. Aku simpan detail ini untuk masa depan. Biarlah waktu yang melunakkan segala penghakiman.
Sore hari aku berjalan pulang. Empat kilometer jauhnya, sendirian di kota asing yang baru kutinggali empat hari. Hanya aku seorang pejalan kaki di antara lautan knalpot. Mereka semua melaju di atas roda, sementara aku melangkah di pinggir jalan—seperti tokoh minor yang tersesat dalam adegan utama. Aku jadi teringat kalimat dalam proposal hidupku:
“Apa pun yang saya tulis, saya tulis agar tetap waras. Jika tidak, saya mungkin akan kehilangan akal. Menari telanjang di pinggir jalan. Memungut remah nasi dari tong sampah. Siapa tahu?”
Hari ini aku nyaris sampai ke sana. Berjalan jauh sendirian sampai malam. Bedanya, aku masih berpakaian.
Di sepanjang perjalanan, empat taman memanggilku satu per satu. Di taman pertama, aku duduk tak jauh dari seorang pria paruh baya yang duduk di ayunan kecil untuk anak-anak. Dia menyenandungkan tembang Jawa. Suaranya lembut, seperti semilir angin yang menggoyang daun-daun. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba dadaku sesak. Aku ingat anakku. Aku ingat janji yang belum tuntas kutepati. Lalu aku menangis—bukan keras, hanya diam-diam, seperti orang yang pura-pura mengusap wajah karena debu.
Aku berjalan lagi, menemukan taman kedua dan singgah sebentar. Lalu taman ketiga, tempat aku membeli minum dan jajanan. Aku bertemu seorang kakek tua penjual kerupuk kulit. Satu kantong dua belas ribu. Aku tidak terlalu suka, tapi kubeli juga.
Satu kilometer sebelum kos kudapati taman keempat yang letaknya di pinggir sungai. Indah. Estetis. Aku duduk lama, menatap arus air yang bergerak pelan. Rasanya aneh. Di taman, aku kadang melihat lelaki duduk sendiri, tapi perempuan sendirian nyaris tak ada.
Malamnya di kamar kos, aku membuat sebuah perjanjian dalam hati: aku harus bertahan di kota ini, mendapatkan penghasilan tetap, membawa anakku ke sini secepat mungkin. Usianya sembilan tahun sebentar lagi. Aku tidak ingin terus kehilangan waktu menyaksikannya tumbuh.
Dalam jarak lima puluh meter ada warung angkringan, di situ aku membeli wedang jahe, nasi kucing, dan kue klepon. Setelah perut kenyang aku menghitung semua uang yang keluar hari ini. Aku menertawakan diriku dalam hati: ini namanya manajemen keuangan bunuh diri. Selanjutnya aku tak boleh menghabiskan uang lebih dari sepuluh ribu per hari.
Aku lantas menulis surat untuk diriku sendiri sepuluh tahun nanti, saat usiaku empat puluh delapan. Ada sembilan poin penting di dalamnya—tentang hidup yang telah aku jalani bersama anakku: indah, utuh, tenang, bahagia, sejahtera. Aku percaya semua itu. Karena kalau tidak, untuk apa aku melewati hari ini dengan semua kesintingan-kesintingannya?
Kota kecil ini memberiku alasan untuk menetap. Jalanannya rapi. Fasilitas pendidikan lengkap. Taman-tamannya ada di setiap simpang. Empat taman kulewati dalam perjalanan pulang, dan di setiap taman, aku berpikir tentang keseimbangan. Ada kebahagiaan yang bisa dipetik di ruang terbuka untuk duduk dan bermain. Di kampungku, hal semacam ini tidak ada. Sejak kecil sampai sekarang, jalannya tetap berlubang, ruang publik nihil, seolah hidup kami memang tak layak punya tempat yang indah. Tempat ini berbeda. Bukan kota besar yang bising dan gemerlap, bukan kampung yang kumuh dan sepi. Kota kecil ini memberi ruang untuk bernapas. Bagi anak-anak, ruang itu adalah dunia, dan aku ingin membuka ruang hidup yang lebih luas untuk anakku di sini, di kota yang memberi ruang terbuka.
Aku telah menggenapi kesintingan 24 jam di hari ulang tahunku, kesintingan yang telah bermula di hari ketiga, atau mungkin lebih awal dari itu, ketika aku memulai ulang hidup. Namun, untuk segala yang telah kulakukan hari ini, aku tak dapat mengabaikan satu hari di Sabtu tanpa foto.
🌿