Sinting di Hari Ketiga
Sepuluh hari lalu aku mengirim satu judul puisi ke panggung internasional dan membayar dua belas poundsterling untuk hak dipertimbangkan. Hari ini, aku membayar lagi untuk lomba lain: delapan poundsterling. Totalnya dua puluh. Dua karcis masuk panggung sastra. Entah ini bunuh diri finansial, entah investasi pada kemungkinan. Yang jelas, nilainya setara uang makan setengah bulan. Dan, seperti yang sudah-sudah, aku memilih mempertaruhkan harapan di atas kenyamanan perut.
Aku tahu rasio peluang ini konyol: ribuan penulis dari seluruh dunia, hanya segelintir yang masuk daftar pendek. Tapi bukankah aku sudah lama hidup di wilayah tak masuk akal? Bukankah aku tetap menulis setelah ratusan halaman diabaikan, sebagaimana telah kuceritakan dalam Tulisan-Tulisan yang Diabaikan?
Waktu itu aku menulis tanpa tahu apakah akan ada yang membaca. Sepuluh hari lalu aku menulis tanpa tahu apakah akan ada yang memberi penghargaanâkali ini dengan kesadaran penuh bahwa aku membayar untuk kemungkinan itu. Sekarang, aku menulis karena aku masih hidup. Aku telah mengetuk semua pintu, bahkan yang paling mustahil. Mari lihat siapa yang menyerah lebih dulu.
Pengumuman pemenang masih delapan bulan lagi. Itu berarti puisiku akan berjalan sendirianâmenempuh jalan panjang, menyeberang lautan, tanpa aku bisa mengawalnya. Selama itu aku harus berpura-pura lupa. Tapi aku pun tahu, pada malam-malam tertentu, pikiranku akan berkelanaâmembayangkan email masuk dengan satu baris subjek: Congratulations.
Kalau itu terjadi, aku akan bilang pada diri sendiri: separuh perut kosong ini, ternyata cukup untuk memberi makan mimpi.
Di hari yang sama, aku membuka akun di fastwork.id. Bukan untuk menjual jasa menulis seperti seharusnya penulis lakukan, melainkan menawarkan jasa curhat. Seorang perempuan yang selalu gemetar saat bicara, yang gentar setiap kali berhadapan dengan manusia, yang kerap menarik diri dari pergaulan, lalu menawarkan diri untuk jasa rumpi?
Ha!
Seratus ribu rupiah untuk membicarakan anak dan pola asuh. Seratus ribu rupiah untuk diskusi tentang fenomena hidup. Mungkin tak ada yang tertarik, mungkin ada satu-dua orang kesasar. Siapa tahu.
Sambil menunggu keajaiban itu, aku mengirim lamaran kerja untuk posisi accounting supervisor. Di titik ini aku hampir tertawa. Bukankah semua ini paradoks yang memalukan? Seorang akuntanâprofesi yang dibangun di atas logika, presisi, dan neraca seimbangâsedang menulis narasi penuh ketidakpastian, lalu membakar uang untuk lomba puisi, membuka jasa curhat seharga sepiring menu restoran. Seorang yang mengaku rasional, tapi diam-diam bertaruh di meja judi yang disebut sastra. Akuntan macam apa yang menghitung laba rugi hidupnya dengan satuan mimpi?
Barangkali HRD yang membaca CV-ku akan melihat pengalamanku: membuat laporan keuangan secara efektif dan efisien, berorientasi pada detail dan analisis mendalam, serta kontrol anggaran guna meminimalkan potensi kerugian. Mereka tak tahu di dunia paralel, aku sedang menghitung kemungkinan yang bahkan tak bisa masuk rumus Excel, bahwa satu-satunya kolom yang penuh warna dalam hidupku adalah âkegilaan.â
Kalau mereka tahu, mungkin mereka bukan hanya akan menghapus namaku dari daftar kandidat, tapi juga mengirimiku email singkat: Maaf, kami mencari orang yang stabil, bukan sastrawan yang ingin jadi biksu.
Tapi hei, bukankah dalam dunia akuntansi, selalu ada akun âcadangan kerugianâ? Barangkali inilah kerugian yang kucadangkan: hidup tak sesuai neraca, tapi siapa peduli? Neraca memang harus seimbang, sementara manusia tidak.
Jadi hari ini aku sibuk sekali, hampir-hampir linglung: pagi mengincar pekerjaan formal, siang menjual obrolan, malam mengirim puisi ke juri internasional. Sebelumnya, pagi-pagi sekali, aku sudah berjalan melewati rumah kepala negara.
Jaraknya hanya satu setengah kilometer dari kos. Aku berjalan kaki mengikuti panduan Google Map, jadi aku yakin tak salah alamat. Semua sesuai dengan potongan video yang pernah kulihat. Jalanan sepi, hanya dua orang duduk di depan gerbang yang tertutup rapat, mungkin penjaga. Aku lewat begitu saja dengan langkah ringan, tanpa drama, tanpa berhenti, tanpa berbalik, tanpa melambaikan tangan, tanpa bertanya apa-apa, hanya melanjutkan langkah hingga menemukan gang kecil untuk kembali ke jalan raya. Semua biasa sajaâpersis seperti melewati rumah tetangga yang kebetulan sedang tidur. Aku bukan rakyat yang ingin berfoto bersama presiden. Aku malah sempat berpikir bahwa akulah yang mesti âditemukanâ.
Untuk semua yang telah kulakukan hari ini, hari ketiga dalam pengembaraan, malamnya aku duduk sendiri, memikirkan satu hal: kesintingan apa lagi yang akan kulakukan esok, di kota asing, sendirian, tepat saat usiaku genap tiga puluh delapan.
đż