Solo Hari ke 55
Jalanan Tanpa Bunyi Klakson dan Gegar Budaya
Sepanjang perjalanan lima kilometer menuju tempat kerja, pengemudi ojek yang saya tumpangi membunyikan klakson berkali-kali: di setiap tikungan, perhentian lampu merah, dan ketika didahului oleh pengendara lain. Saya merasa terganggu, lalu spontan bertanya, “Bapak bukan asli orang sini ya?”
Jawaban “iya” yang terlontar dari mulutnya menyadarkan saya akan satu hal.
Sejak pertama kali menginjak Solo, saya tidak pernah benar-benar menyadari ada yang berbeda. Jalan-jalannya ramai, tapi tidak gaduh, seolah kota ini tahu bagaimana cara hidup tanpa harus menonjolkan keberadaannya. Tidak ada suara klakson yang menembus telinga, tidak ada pengendara yang mengumpat di perempatan, tidak ada perlombaan kecil antara satu kendaraan dan lainnya. Hanya laju yang mengalir, seperti arus sungai yang paham betul ke mana harus berbelok dan bermuara.
Sepanjang 38 tahun umur yang saya jalani, inilah ritme hidup yang saya dambakan, melebur dalam keheningan yang tidak dibuat-buat. Keheningan yang bukan berarti tidak ada suara, melainkan tidak ada benturan.
Saya tumbuh besar dalam kebisingan: bentakan di rumah, makian di sekolah, klakson di jalan, televisi yang menyala nyaris dua puluh empat jam, musik keras dari tetangga yang selalu merasa suaranya pantas dibagikan. Di tempat-tempat itu, saya kerap duduk bersimpuh di lantai, membayangkan berada di tengah padang rerumputan, atau di hutan, atau di manapun saya bisa mendengar suara napas sendiri, tanpa perlu menunggu waktu tengah malam.
Di sini, kesunyian seperti bagian dari tata krama. Orang-orang menyalip tanpa tergesa, menunggu giliran tanpa perlu diingatkan. Suara musik mengalun di kedai-kedai makanan yang tersebar di banyak tempat, cukup untuk bisa dinikmati tanpa menyebabkan telinga berdengung.
Saya menyebutnya gegar budaya yang tidak terasa. Sebab biasanya, gegar budaya menimbulkan keterkejutan — semacam benturan nilai antara yang lama dan baru. Sementara itu, saya merasakan hal sebaliknya: penerimaan yang lembut, seolah kota ini menampung saya tanpa tanya, tanpa menilai.
Solo tidak memaksa saya menyesuaikan diri. Sebungkus nasi porsi kecil harga terjangkau, sesuai betul dengan kebutuhan perut saya. Setiap jenis makanan khas daerah bisa saya nikmati. Ke manapun saya berjalan kaki di sini, saya merasa aman. Ada hal-hal yang selalu ingin saya lakukan, tapi tak mampu saya lakukan di tempat lain, akhirnya bisa saya lakukan di tanah Solo. Hal-hal sederhana, memang, tapi betapa hal sederhana ini amat melegakan. Misalnya saja lari pagi.
Pukul lima subuh saya bersiap memakai kaos kaki dan sepatu. Saya menelusuri gang-gang kecil yang semuanya sudah diaspal. Rapi dan bersih. Dari pemilik kos yang pernah menemani saya jalan pagi saya tahu bahwa hampir setiap rumah memiliki usaha sendiri: dari skala kecil membuat kue, sampai skala menengah usaha konveksi. Saya sampaikan kekaguman saya pada keteraturan dan keindahan tempat ini kepada pemilik kos.
“Bagus karena sudah dibagusin. Dulu ya enggak,” katanya pelan.
Jawaban Mbah membuat saya berpikir, lalu mengingat jalan-jalan becek di tanah kelahiran saya—tanah yang tak ingin saya datangi lagi. Tidak semua tempat bisa disebut rumah, meski tempat tersebut memang rumah yang menyaksikan kita tumbuh besar. Lebih tepatnya, tumbuh besar dan menua bersama kepahitan dan luka menganga. Lantas pergi menjadi upaya menyelamatkan diri.
Kini, di Solo, saya menemukan rumah dalam bentuk lain, berupa suasana yang selaras dengan keberadaan saya. Meski demikian, gesekan-gesekan kecil masih tetap ada. Saya memang telah berpindah kota, terasa membaur dengan ritmenya, tapi belum sepenuhnya berpindah dari diri sendiri. Di tempat kerja, ketidaknyamanan sesekali muncul—bukan karena siapa-siapa, tapi karena saya sendiri belum pulih sepenuhnya dari rasa takut, rasa enggan berhadapan dengan manusia. Solo memberi saya ruang, tapi belum sepenuhnya memberi saya keberanian bicara dan berinteraksi. Mungkin karena keberanian memang tidak bisa dipinjam dari kota, hanya bisa ditumbuhkan perlahan di dada sendiri.
Saya duduk di kedai kecil, menunggu hujan reda. Di sudut ruangan, tembang Jawa mengalun lirih, seperti doa yang diucapkan dengan nada rendah. Hujan menimpa genting dengan ketukan yang tidak tergesa-gesa. Saya duduk, diam, mendengarkan, membiarkan tubuh saya menyatu dengan bunyi air dan nada gamelan yang samar. Mungkin, beginilah rasanya pulang—bukan tiba di tempat yang sempurna, tapi berhenti mencari alasan untuk pergi.
Perkara kecil yang mengusik, ucapan yang menyenggol, atau sekadar suasana yang tiba-tiba membuat jantung saya berdebar tanpa sebab, tidak benar-benar lenyap sepenuhnya, tapi setiap malam ketika duduk di kedai mendengarkan tembang Jawa, saya tahu bahwa saya bersedia untuk tinggal lama.
Ketidaknyamanan bukan lagi musuh yang harus dilawan dan dijauhi. Kehidupan bersosial yang dahulu semacam batu sandungan di jalan, kini telah menjelma jalan itu sendiri.
🌿