Tak Ada Proposal Hidup di Daftar 10 Besar
Barusan saya baca pengumuman 10 besar. Cerpen saya tidak termasuk. Lagi dan lagi. Selama bertahun-tahun, selama puluhan kali lomba.
Saya bertanya kepada diri sendiri: masihkah saya akan menulis meski tak ada yang menepuk pundak saya?
Saya lelah saat membaca nama-nama di daftar itu.
Ke Mana Kuajukan Proposal Hidup saya tulis pada hari ke tujuh di Solo, ketika berkeliaran mencari pekerjaan. Tulisan yang saya tujukan untuk diri sendiri. Saya selalu menulis untuk diri sendiri. Saya bukan pengarang. Tidak bisa mengarang. Saya menulis apa yang saya alami.
Dan menulis, bagi saya, seperti mengurus anak. Saya tidak memiliki keinginan membentuk anak menjadi seperti saya. Saya memberi kebebasan padanya untuk menjadi diri sendiri.
Maka menulis adalah mengurus anak kecil dalam diri saya sendiri. Saya tumbuh dengan kekerasan yang dianggap biasa. Tumbuh dengan kekangan, aturan, bentakan, kritikan, caci maki. Saya ingin membebaskan diri saya. Jika semesta memberikan saya kelimpahan, maka saya pasti tak akan pernah mau ikut lomba menulis. Kelegaan yang saya rasakan setelah menulis lebih dari cukup sebagai ganjaran paling besar, sebab satu kekeliruan telah dituliskan. Masa lalu tidak berubah, dan tak perlu berubah, saya hanya perlu menulisnya supaya beban yang bercokol dalam pikiran dan tubuh saya berpindah ke dalam tulisan. Beban itu tetap menjadi beban, tapi wujudnya sudah terpisah dari saya.
Beberapa tulisan saya baca ulang, beberapa lainnya saya biarkan. Jika membacanya saya tidak menjadi emosional, maka saya tidak akan pernah lagi membacanya.
Kegagalan dalam lomba kali ini bukan yang pertama, justru sesuatu yang biasa, sebab terlalu terbiasa. Yang saya inginkan adalah uang hadiahnya, untuk membawa anak saya pindah ke Solo, bukan kemenangannya. Saya menulis karena saya terdesak untuk menulis. Sama seperti orang yang bekerja, berdagang, atau mengamen di jalanan. Saya menulis karena di situlah saya bisa menambal kekosongan dalam jiwa saya. Disitulah saya menyambung satu napas demi napas lainnya. Saya ingin uang karena hidup di zaman ini butuh uang. Apa yang paling saya inginkan dalam sisa hidup saya hanyalah satu hal: mengurus anak saya sendiri. Jika tidak, saya pasti akan mati dalam penyesalan.
Dan semesta, apakah berkenan membiarkan saya tidur nyenyak setiap malam di samping anak saya? Layakkah saya bernapas sedikit lebih lega? Apakah dunia akan terus-menerus menolak saya?
🌿