The Law of Sinting
Hukum-hukum alam tetap bekerja meski tak tertulis. Air mengalir ke laut, matahari terbit di timur, dan manusia berbaris rapi menuju kewarasan yang disepakati. Aku tidak ikut barisan itu.
Aku memilih hukum lain, hukum yang kusebut The Law of Sinting. Isinya sederhana. Jika dunia menuntutmu waras, lakukan sesuatu yang membuat dunia curiga. Bukan karena kau ingin mati, tapi karena kau ingin hidup dengan kadar yang tak mereka ukur.
Aku tengah mempraktikkannya saat ini dengan cara berhenti dari pekerjaan yang memberikan rasa aman, demi pindah ke kota asing yang namanya menggema dalam hati, hanya untuk jadi pengangguran.
Bagaimana aku akan menafkahi anakku?
Apakah ini kebodohan?
Atau penyakit mental?
Entahlah.
Saat ini, aku masih berpikir bahwa kesintinganku adalah vaksin terhadap keseragaman yang mematikan, cara supaya keluar dari jebakan angka dalam laporan tahunan kehidupan. Debit, kredit, saldo nol. Dengan sinting, aku bisa menulis memoar di udara, bisa menunda bunuh diri karena mimpi absurd bertemu Gus Dur yang tertawa, lalu aku ikut tertawa begitu melihat semut-semut berebutan teh manis sisa, seolah mereka berkata, “Matilah besok saja. Hari ini ngeteh dulu.”
Dan esoknya semut-semut itu berkata hal yang sama.
The Law of Sinting barangkali bukan untuk semua orang, tetapi hanya untuk yang pernah berdiri di jembatan dan bertanya, “Untuk apa aku terus hidup?” Lalu memilih turun dan berjalan kaki sejauh delapan kilometer, kembali ke kamar kos, mandi, hanya agar bisa menulis kalimat ini.
Bagaimanakah cara kerja alam semesta?
Sering kali, yang terjadi padaku, segala hal datang tanpa penjelasan, hanya memberi tanda-tanda samar, seperti benang kusut yang kau tarik tanpa tahu ujungnya. Dalam kesintingan yang pelan-pelan terasa masuk akal, aku belajar percaya pada kebetulan yang terlalu aneh untuk disebut kebetulan.
Dulu sekali, aku pernah duduk di sebuah ruangan besar. Di hadapanku, seorang lelaki berbicara dalam bahasa Inggris yang tidak seluruhnya kupahami, tapi suaranya seperti mengiris udara dan menancap di kepalaku. Lalu aku terjaga. Rupanya itu mimpi. Beberapa hari kemudian, ketika jariku menggeser-geser layar ponsel sekenanya, aku melihatnya lagi di kanal youtube. Lelaki yang sudah kukenali terlebih dahulu dalam mimpi, yang sudah meninggal di tahun 1972. Barangkali mimpi itu bukan pertanda suci, hanya algoritma Tuhan yang lebih canggih dari Google. Dari dia, aku mendengar kalimat yang membuatku terdiam lama:
Man is seeking the source, the cause, of the phenomena of life…
Kalimat itu seperti memukul gendang dalam dadaku. Ia membawaku kembali ke pertanyaan yang telah lama mengendap sejak aku masih anak-anak:
Apa sumber dari segala fenomena hidup?
Kenapa kehidupan berjalan begini di tempat ini dan begitu di tempat itu?
Kenapa penderitaan begitu tak terelakkan dan tak tertanggungkan?
Pernah aku mengira sudah menemukan jawabannya. Tapi menemukan saja tidak cukup. Itu baru separuh perjalanan. Kebenaran—sekalipun agung—tak akan mengubah apapun. Aku harus mengujinya dengan laku hidupku sendiri, dan menanggung resiko untuk jatuh bangun bersamanya. Sementara tubuh, termasuk pikiran dan perasaan, bergerak seperti mesin otomatis yang sudah terbentuk oleh kebiasaan mendarah daging selama puluhan tahun. Maka ia senantiasa kembali ke jalur lama, kecuali kau bongkar akarnya. Setiap usaha untuk berubah terasa menyakitkan, lambat, bahkan mengkhianati apa yang telah kuyakini.
Di titik inilah—dengan luka, dendam, dan segala ketelanjangannya—aku menempuh jalan berbeda, bukan jalan menemukan, tapi jalan menjadikan penemuan itu sebagai tubuhnya sendiri. Dan itu, barangkali, satu-satunya jalan yang jujur.
Aku sudah membuktikan hal-hal kecil. Sekarang aku menghendaki lompatan besar. Kesejahteraan, kekayaan, kedaulatan atas hidupku sendiri, terutama kemerdekaan mengasuh anak seorang diri. Keinginanku sederhana saja, sebenarnya. Hidup tenang bersama dengan anak dan menulis cerita. Jika saja aku hidup di abad di mana manusia tak mengenal uang, cukup menanam untuk makan, cukup menulis untuk kesenangan. Tapi dunia telah terbentuk sedemikian rupa sehingga segala hal mesti dinilai dengan uang, dengan angka, dengan gelar. Dan di zaman ini, besar berarti kaya.
Jadi bagaimana aku bisa mewujudkan keinginan sederhana itu meski tidak menjadi besar dulu? Cukupkah keberanian menghadapi benturan dengan keluarga serta pertentangan dengan masyarakat? Dari pengalamanku, aku tahu betul bahwa itu tidak cukup. Jika itu cukup, maka saat ini anakku ada di sampingku.
Aku telah pindah, tanpa tas merah berisi sejumlah besar uang seperti Balram, sebab aku tak seberani dia menggorok leher majikan sendiri, dan terlalu takut menghadapi kemarahan Bapak. Aku menghibur diri sendiri bahwa aku memilih jalan bersih, bukan karena sikap pengecut.
Kehidupanku dipertaruhkan pada sesuatu yang melampaui keberadaanku, pada satu keyakinan bahwa ada hukum yang lebih tinggi daripada logika manusia. Sebuah hukum yang hanya dimengerti oleh mereka yang berani sinting. Barangkali itu hukum Tuhan, atau mungkin sekadar keputusasaan yang naik pangkat menjadi iman. Apa pun namanya, di sinilah aku berdiri, menaruh seluruh diriku di atas percaturan nasib, dan berkata dalam hati, kita lihat siapa yang lebih keras kepala, aku atau takdir.
🌿