Alang-Alang

Tulisan-Tulisan yang Diabaikan

Aku membagikan foto halaman koran berisi tulisanku, lengkap dengan namaku dan foto hitam putih di sudut rubrik sastra. Ucapan selamat kuterima dari orang-orang, kubalas komentar mereka dengan ungkapan syukur dan terima kasih.

Tapi itu tak pernah terjadi. Aku hanya membayangkannya.

Kenyataannya adalah: aku mengirim tulisan. Lalu diam. Menunggu. Tak ada kabar. Mengirim lagi. Tak ada kabar lagi.

Lima cerpen kukirim ke lima media berbeda selama dua bulan. Tak satu pun membalas.

Semula kukira aku akan patah, ternyata tidak. Aku hanya berubah.

Dulu aku menulis untuk dimuat. Sekarang aku menulis karena tak ada tempat lain untuk menyimpan semuanya—rasa gagal, rasa marah, rasa hidup yang terlalu kejam.

Menulis telah menjadi cara merawat luka yang tak bisa dikirim ke mana-mana.

Aku pernah menang satu lomba cerpen. Itu cukup untuk menyuap rasa raguku. Tapi kemudian kekalahan datang lagi, seperti gempa bumi yang tak pernah surut.

Aku menghitung-hitung selama sepuluh tahun terakhir:

17 cerpen dikirim, 1 dimuat tanpa dibayar.

6 lomba cerpen diikuti, 1 menang juara harapan, 5 kalah.

8 puisi dikirim, 0 dimuat.

3 naskah novel ditolak.

3 lomba novel diikuti, 3 kalah semua.

1 naskah novel terbit, tidak laku.

1 orang saja yang membaca blog ini, dan itu aku sendiri.

Tapi tetap saja kutulis.

Jangan pikir aku begitu tekun menulis. Tidak. Selama sepuluh tahun itu, aku lebih banyak menghabiskan waktu mengurusi pernikahanku yang, ternyata, gagal juga.

🌿

Email Saweria